PARA penyair (seniman) biasanya agak alergi dengan sebutan "industri." Tentu, bukan tanpa sebab. Jauh-jauh hari, Theodor Adorno misalnya, bilang bahwa kebudayaan industri (culture industry) itu, semacam dehumanisasi lewat kebudayaan. Proses dehumanisasinya itu tampak ketika kapitalisme membuat kebudayaan menjadi patuh pada hukum komoditas. Hukum yang semata berorientasi pada kebudayaan massa. Maka, kebudayaan industri itu, sebuah tirani.
Tentu, kita boleh sepakat, boleh tidak. Terutama misalnya, kalau kemudian kita diingatkan kembali pada perdebatan ihwal “seni tinggi” (otonom) dan “seni rendah” (seni massa). Waktu itu, Adrono hanya kuatir, martabat dan otonomi karya seni dicengkeram oleh kuasa fasisme, yang totaliter. Ia kuatir karya seni masuk ke dalam lingkaran yang ia sebut sebagai “komersial murahan.” Maka, bagi Adorno, perlu ada upaya “pembebasan” dari penjara komoditas.
Tapi mari kita lihat, apakah itu masih relevan kita bincangkan kini, khususnya dalam dunia perpuisian kita. Terutama jika mengulang-kaji puisi sebagai “objek konsumsi” dalam masyarakat industri-kapitalistik. Persoalan klasiknya memang, kenapa puisi sebagai “objek konsumsi” tidak selalu bernasib “baik” saat berhadapan dengan konsumen? Konsumen, yang saya maksud, tentu adalah pembaca, atau pembeli (buku puisi).
Boleh jadi, ada yang menjawab, karena puisi-puisi selalu sengaja mengambil jarak dengan konsumen, terutama dengan menulis puisi yang “rumit.” Puisi, yang syarat dengan metafor, dan tidak dengan bahasa “biasa.” Maka, seolah kemudian, menjadi “terdakwa-lah” para penyair yang gaya puisinya begitu. Sebaliknya, menjadi “jawara-lah” para penyair yang puisinya memakai bahasa yang “biasa-biasa” saja, bahasa keseharian, bahasa massa, bahasa prosaik, dan sejenisnya. Dan, pada saat yang sama, puisi-puisi serupa ini diyakini dapat masuk leluasa ke dalam dunia “industri.”