Nah, bicara puisi sebagai produk, harus pula bicara siapa yang jadi konsumennya. Sebab, kita tahu, dalam teori-teori sosial, “objek konsumsi” tidak bisa terlepas dari “subjek konsumsi” dan selalu berkait-kelindan pula dengan urusan “produksi.” Pendekatan kita terhadap puisi sebagai “objek konsumsi” misalnya, dengan demikian tidak boleh terpisah dengan siapakah para “subjek” yang mengkonsumsinya, dan bagaimanakah ia diproduksi.
Gabriel dan Lang (1995) misalnya, mengklasifikasi tipe-tipe konsumen itu menjadi: korban, pemilih, komunikator, pencari identitas, hedonis, artis, pemberontak, aktivis, atau warga. Lalu, jika kita bersetuju dengan klasifikasi itu, bolehlah kita menebak-nebaknya sendiri, siapakah konsumen yang bisa masuk sebagai “subjek konsumsi” buku puisi? Saya menduga, boleh jadi semua tipe itu, adalah para konsumen puisi.
Tapi, tentu itu kalau kita melihatnya (tidak jauh-jauh) dari segmentasi pasar. Namun, kalau ditengok dari kompleksitasnya relasi-relasi antara subjek dan objek, maka persoalan konsumsi, hari ini, telah menjadi salah satu proses penting dalam mengkonstruksi identitas-diri dan kelompok. Para konsumen puisi itu, adalah para individu dan kelompok/komunitas “terpilih” dalam sebuah struktur/sistem yang tercipta secara tak sadar. Pembentukannya biasanya didasarkan pada hobi atau minat bersama, atau kebutuhan bersama.
Maka, jika kemudian kini, misalnya ada fenomena yang seolah sudah menjadi trend tersendiri dengan menerbitkan buku antologi puisi bersama secara arisan. Puisinya arisan, dananya arisan, pun juga pembacanya yang terbatas para penyair yang berkirim karya yang ikut arisan itu—karena memang dicetak terbatas. Saya kira, fenomena ini, bukankah hendak menunjukkan bahwa penyair, sebagai “produsen,” selalu “memproduksi” puisi-puisinya dalam wilayah habitus (istilah Bourdieu) konsumsi sendiri? Atau, agaknya juga, justru hendak kian mendekat dengan arus industri, melalui cara-cara sendiri? Tapi, apakah puisi, bisa jadi industri? Entahlah...***