Riau pernah punya banyak media seni-budaya-sastra dan termasuk terbilang di Indonesia. Sayangnya mereka mati karena terkendala dana. Kini Majalah Suku Seni terbit dan berharap bisa eksis di masa depan.
RIAUPOS.CO - MARHALIM Zaini terlihat santai ketika ditemui di ruang kerjanya yang di dindingnya penuh poster-poster, di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Rabu (3/5/2023) . Ada beberpa jenis poster di ruangan itu. Ada poster pertunjukan teater, kliping media, kaver buku, dll. Kepala Rumah Kreatif Suku Seni tersebut sedang menyeruput kopinya sambil mengutak-atik laptopnya. Sementara di ruangan lain beberapa anggota Suku Seni sedang berbincang tentang persiapan peluncuran Majalah Suku Seni yang rencananya akan dilakukan pada 21 Mei 2023.
Marhalim bercerita tentang mengapa dia dan komunitasnya berkeras menerbitkan Majalah Suku Seni, di tengah semakin jatuhnya media cetak. Menurutnya, majalah seni, budaya, sastra, dan sebagainya itu masih sangat penting bagi kalangan seniman, budayawan, sastrawan, maupun masyarakat umum. Padahal penerbitan tersebut berbiaya mahal. Apalagi dicetak dengan edisi kertas luks. Jika mau jalan aman, sebenarnya, bisa saja hanya menerbitkan edisi digital dalam bentuk PDF –seperti banyak dilakukan oleh komunitas seni dan sastra sekarang— atau media daring berbentuk website yang mudah dihapus, diperbaiki, dan akan hidup selamanya dalam dunia digital.
“Kami juga membuat website, online. Tapi menurut saya, kebutuhan pada media kertas yang kasat mata, masih sangat diperlukan. Orang masih ingin membaca yang berformat kertas,” jelas ayah tiga anak ini.
Kerinduan akan media-media seni-budaya-sastra di Riau di masa lalu, menjadi salah satu yang memicunya untuk menerbitkan Majalah Suku Seni ini. Setelah Majalah Sagang tutup usia, tak ada lagi majalah budaya yang diterbitkan di daerah ini. Padahal dulu, selain Sagang, juga terbit Majalah Sastra Menyimak, Tamadun, Berdaulat, Jurnal Paragraf, dan beberapa media seni-budaya-satra lainnya. Sebelum membidani Suku Seni ini, Marhalim pernah ikut dalam penerbitan Berdaulat –yang diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau (YPR)--, Tamadun (Taman Budaya Riau), dan Jurnal Paragraf (Komunitas Paragraf). Namun media-media tersebut akhirnya tutup karena kendala pendanaan.
“Harus diakui, menerbitkan majalah seni-budaya-satra ini tak bisa mengharapkan keuntungan. Karena daya beli para seniman dan masyarakat umum sangat rendah untuk media spesifik ini. Namun bukan itu yang membuat kami di Suku Seni pikirkan. Ada rasa senang dan bangga bisa menerbitkan sesuatu yang sekarang sudah dilupakan dan ditinggalkan banyak orang,” jelas lelaki yang juga menuli cerpen, puisi, dan novel ini.
Dia menjelaskan, sangat beruntung Suku Seni mendapatkan dana hibah dari Dana Indonesiana yang dikelola oleh LPDP dalam dua tahun ini, 2022-2023, sehingga pembiayaannya bisa dilakukan, paling tidak masih bisa dalam setahun ini. Jika nanti sudah tak mendapatkan dana hibah lagi, dia bertekad akan terus menerbitkannya. Mungkin dengan format dan kertas yang lebih sederhana untuk menekan biaya.
Menurutnya, idealnya, harus ada media yang mencatat persoalan dan kejadian-kejadian kebudayaan secara luas –yang di dalamnya termasuk berbagai genre seni dan sastra— karena perkembangan dan dinamika seni-budaya di Riau cukup menggairahkan. Namun tak ada yang mencatatnya dengan baik. Salah satu hal yang dilakukan Majalah Suku Seni adalah menjadi salah satu pusat arsip kebudayaan, kesenian, sastra dan genre seni lainnya di Riau yang hingga kini tak diperhatikan orang.
Sejak Sagang tak terbit lagi, kata sutradara Opera Melayu Tun Teja ini, kerinduan akan media budaya terus ada dalam pikirannya. Selama ini, media yang tunak mencatat persoalan budaya tersebut hanya Riau Pos dengan halaman “Ranggi”-nya. Mungkin juga ada Majalah Serindit (diterbitkan Balai Bahasa Provinsi Riau), namun jarang ditemukan oleh kalangan budayawan dan sastrawan karena mungkin dicetak terbatas. Media arus utama lainnya di Riau tak peduli dengan hal itu.
“Dalam tataran ideal, menurut saya, media budaya ini masih sangat penting. Namun dalam pemikiran orang lain mungkin tidak penting lagi karena berbagai hal. Mungkin sudah tak peduli lagi, mungkin juga karena biaya tinggi. Tetapi mencatat dan mengarsipkan persoalan dan perkembangan kebudayaan itu penting dilakukan,” ujar penulis buku kumpulan puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu yang mendapatkan penghargaan dari Badan Bahasa tersebut.
Dia sadar, menerbitkan sebuah majalah seni-budaya-satra seperti melawan arus zaman yang kini beralih wahana ke digital. Tidak hanya di Riau, majalah-majalah yang sebelumnya begitu terkenal dan eksis seperti Horison, Gong, Selarong, Jurnal Cerpen Indonesia, dan sebagainya, juga harus berhenti terbit karena persoalan biaya. Namun, menurutnya, dengan kemudahan media digital pun, hingga kini belum ada media digital yang tunak dan peduli dengan seni-budaya-satra ini.
Selain Marhalim sebagai pemimpin redaksi, redaksional Majalah Suku Seni diisi beberapa anak muda yang merupakan anggota Rumah Kreatif Suku Seni. Mereka antara lain Joni Hendri, Verilla Sari Purba, Epa Juariah, Dion Rahmat Putra, Depri Ajopan, Baharsyah Setiaji, Rahmadi, Laposa DMR, dan beberapa nama lainnya.
Marhalim berharap, kelahiran Majalah Suku Seni akan memberi ruang bagi pertumbuhan iklim seni yang baik di Riau dan paling tidak akan menjadi media pencatat dan pengarsip yang akan dipakai sebagai catatan sejarah dunia seni-budaya di Riau oleh generasi ke depan. Marhalim juga berharap terbitnya majalah ini akan menjadi pemikiran para pelaku seni-budaya lainnya untuk tergerak melakukan hal yang sama dengan alasan pentingnya dunia pemikiran dalam berkesenian.
“Jika itu terjadi, dunia seni-budaya kita akan bergairah,” jelasnya.
***
RIAU pernah punya tradisi yang baik dalam penerbitan media seni-budaya-sastra. Di awal tahun 1990-an Menyimak adalah salah satunya, yang menjadi barometer dan pelopor bertumbuhnya dunia seni-sastra di Riau di masanya. Dalam catatan berjudul “Menyimak, Suara, Sagang, dan…” Hasan Junus (HJ) menukilkan keterlibatannya di beberapa majalah sastra di Riau, yakni Menyimak, Suara, dan Sagang. Edisi perdana Menyimak tercatat 28 Oktober 1992—29 Januari 1993. Majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Membaca
Majalah yang diinisiasi oleh Taufik Ikram Jamil dan Mafirion ini bertahan dalam edisi. Edisi terakhirnya tercatat 28 Juli 1994—28 Oktober 1994. Selain HJ, beberapa nama sempat menjadi editor dan tim kerja dalam majalah ini, misalnya Wise Marwin, Elmustian Rahman, Eddy Akhmad RM, Armawi KH, Taufik MuntazimDanthe S Moeis, Aris Abebadan beberapa nama lainnya. Menurut HJ, Menyimak di setiap nomornya menghidangkan sajak, esei dan cerita-pendek asli dan terjemahan.
Setelah Menyimak tak terbit lagi, HJ diajak Al azhar dan Elmustian saat menerbitkan Majalah Sastra Suara, yang nomor pernerbitan perdananya tercatat Setember 1998. Sebulan setelah itu, yakn Oktober 1998, HJ ikut menerbitkan Majalah Sastra Sagang oleh Rida K Liamsi, koleganya saat bersama-sama di Mingguan Genta. Sagang cukup lama terbit dan menjadi majalah sastra terpanjang usianya karena penerbitannya dibiayai oleh Riau Pos. Hingga dirinya wafat pada 30 Maret 2012, HJ masih tercatat sebagai pemimpin redaksi. Setelah HJ wafat, penerbitan Sagang diteruskan oleh para redakturnya, yakni Zuarman Ahmad dan Dantje. Kazzaini Ks, Sutrianto, dan bebera nama lainnya pernah berada di redaksional majalah ini.
YPR juga pernah menerbitkan Majalah Berdaulat. Majalah ini diinisiasi oleh Taufik Ikram Jamil (TIJ) pada tahun 2001. Dalam susunan redaksinya, HJ dan Sutardji Calzoum Bachri menjadi penasihat. Marhalim menjadi pemimpin redaksi sebelum majalah tersebut tutup dengan anggota Dewan Redaksi, yakni Hang Kafrawi, Fedli Aziz, Rina N Entin, juga Syaukani Al Karim sebagai pemimpin perusahaan.
Lalu ada Majalah Budaya Tamaddun yang diterbitkan Taman Budaya Riau. Di situ Marhalim menjadi pemimpin redaksi, dengan staf redaksi antara lain Jefry al Malay, Monda Gianes, Novi Yanti, dan Aleila. Menurut Marhalim, majalah ini hanya terbit beberapa edisi pada tahun 2009.
Pada tahun 2014, Komunitas Paragraf menerbitkan tabloid berkala sastra, Jurnal Paragraf. Sayangnya, media ini hanya sekali terbit, yakni edisi I April-Juni 2014. Jurnal Paragraf diredaksi oleh Hary B Koriun, Marhalim, Olyrinson, dan Buddy Utamy. Staf redaksinya adalah para anggota Komunitas Paragraf seperti Cikie Wahab, Anju Zasdar, Cahaya Buah Hati, May Moon Nasution, Jenni Firtiasa, Zurnila Emhar, Refila Yusra, dll. Masalah pembiayaan juga yang membuat media ini tak terbit lagi.
Kemudian, Balai Bahasa Provinsi Riau hingga kini –sejak tiga tahun lalu—juga menerbitkan majalah seni, yakni Serindit, yang terbit setahun dua edisi. Mereka yang mengeditori majalah tersebut adalah Yulita Fitriana, Irwanto, Marlina, Raja Saleh, dan Fandi Agusman.
Penerbitan-penerbitan media seni-budaya-sastra tersebut menunjukkan kreativitas pada pelaku seni-budaya-sastra di Riau yang sebenarnya tak kalah dengan beberapa daerah lain yang juga tumbuh subur media seninya, seperti Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, dan beberapa daerah lainnya. Kini, kehadiran media-media tersebut sangat dirindukan lagi.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru