Meski "baru" berumur lima tahun, apa yang dilakukan Rumah Kreatif Suku Seni Riau pantas dikedepankan. Marhalim Zaini dkk berhasil membangun kantong budaya yang insklusif, tempat para seniman Riau bisa bicara dan melakukan apa saja.
RIAUPOS.CO - BANYAK komunitas seni yang lahir di Indonesia, tetapi tak banyak yang tunak dan eksis. Hal yang sama juga terjadi di Riau. Mereka banyak lahir, tumbuh, namun dalam waktu cepat menghilang. Bahkan ada yang mati selamanya dan tinggal sejarah. Salah satu yang eksis dan kini sedang merayakan ulang tahun kelimanya, adalah Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR/Suku Seni).
Suku Seni diinisiasi dan didirikan oleh seniman Riau, SPN Marhalim Zaini SSn MA pada akhir tahun 2017 (tercatat di akta notaris 14 Desember 2017). Pendiriannya diawali dan ditandai dengan sebuah pergelaran teater kolosal berjudul Dilanggar Todak, yang penulisan naskah dan sutradara langsung oleh Marhalim. Pergelaran ini melibatkan lebih dari seratus pendukung pertunjukan. Dipentaskan selama tiga malam (22, 23, 24 Februari 2018) di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, dan disaksikan lebih dari 1500-an penonton dengan tiket berbayar.
Berawal dari sana, Marhalim dan sejumlah seniman yang terlibat bersepakat untuk melanjutkan aktivitas grup ini dengan membentuk pengurus. Mereka antara lain Husin, Anju Zasdar, dan Rian Harahap. Sisa keuntungan dari dana produksi Dilanggar Todak digunakan untuk mencari kontrakan sebagai tempat aktivitas anggota. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup besar dipilih yang berada di Jl Air Dingin, Marpoyan (tidak jauh dari kampus Universitas Islam Riau/UIR). Maka, program-program pun dirancang, dan diselenggarakan di lokasi tersebut. Tidak hanya teater, tetapi meluas ke semua bidang seni.
Kartunis Furqon LW saat memberikan pelatihan sketsa di Suku Seni Riau (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)
Selama lebih kurang setahun di Air Dingin (2018-2019), program-program berjalan dengan baik, mulai dari diskusi mingguan, workshop seni, perpustakaan, latihan dasar secara seni rutin, hingga pertunjukan-pertunjukan kecil dalam helat Malam Seni Masyarakat yang digelar tiap bulan di halaman rumah.
“Keterlibatan komunitas seni lain dan masyarakat setempat dalam kegiatan-kegiatan tersebut membuat Suku Seni cukup dikenal publik. Semua kegiatan dilakukan secara swadaya di samping juga berupaya mencari donasi dan dukungan sponsor,” kata Marhalim memulai cerita kepada Riau Pos, Jumat (16/12/2022).
Tahun berikutnya, ketika pandemi Covid-19 melanda, Suku Seni tak mampu lagi bergerak, dan tak mampu membayar sewa rumah. Akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah Marhalim, di Perumahan Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Dengan memanfaatkan ruang yang cukup luas di lantai dua, Suku Seni mulai perlahan-lahan bergerak dengan sejumlah program yang menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Sampai 2021 mampu membangun ruangan yang cukup kondusif untuk aktivitas berbagai bidang seni di Gading Marpoyan. Dan tahun 2022 ini, Suku Seni mendapatkan dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui platform Dana Indonesiana.
Salah satu adegan dalam pementasan teater Hikayat Orang Laut oleh Teater Suku Seni di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)
Menurut Marhalim, nama “rumah” dipilih karena konsep komunitas ini memang memilih memberdayakan rumah sebagai sebuah ruang interaksi yang hangat, lebih kekeluargaan, dan guyub. Selain itu, secara filosofis, rumah dimaknai sebagai ruang hidup yang lahir, tumbuh, dan berkembang sebagai manusia seutuhnya. Kata “kreatif” disandingkan dengan “rumah” karena ingin membangun iklim yang kondusif di dalam rumah melalui aktivitas kreatif, khususnya seni-budaya.
Sementara itu, kata “Suku Seni” disimbolisasikan sebagai sebuah ikon keberagaman dan perbedaan yang dipersatukan oleh kesenian. Berbagai suku di masyarakat adalah kekayaan yang akan memberi energi bagi lahirnya kreativitas seni yang inovatif.
“Apa pun suku Anda, di Suku Seni semua berbaur, berkolaborasi, saling mengisi, dan membangun kebersamaan demi memuliakan kemanusiaan,” ujar penulis buku kumpulan cerpen Amuk Tun Teja ini.
Maka, sebagai sebuah “rumah”, katanya, tempat para kreator berkumpul, Suku Seni akan membuka diri terhadap aktivitas seni-budaya, baik tradisional maupun modern, yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dan terus-menerus melakukan proses dialektika dengan merespon perkembangan zaman. Tersebab Suku Seni berdiri di tanah Melayu, Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau, maka secara sadar dan bertanggung jawab akan turut menjadikan kebudayaan Melayu sebagai salah satu sumber kekuatan dalam proses berkesenian. Turut melestarikan seni-budaya tradisional Melayu dengan cara-cara kreatif, dan terus menggali berbagai kemungkinan untuk menemukan intisari dari jiwa dan semangat kebudayaan Melayu dalam dunia kesenian modern.
***
Koreografer Iwan Irawan Permadi saat memberikan workshop tari di Suku Seni Riau. (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)
SUKU Seni diniatkan menjadi sebuah ruang tempat para kreator, seniman, pegiat seni, akademisi seni, penikmat seni menyelenggarakan berbagai aktivitas seni-budaya, yang berbasis komunitas. Berbagai program dirancang yang akan digelar sepanjang tahun, baik berupa pertunjukan, pameran, diskusi, workhsop, rumah baca, festival, lomba, penerbitan buku, penelitian, pemberdayaan masyarakat di bidang seni budaya.
“Program tersebut diharapkan dapat membangun iklim kondusif bagi bangkitnya semangat berkarya di bidang seni budaya, sekaligus dapat membuka peluang-peluang baru bagi seniman untuk mengembangkan diri sekaligus berkompetisi di dunia kreatif, khususnya di Riau,” jelas lelaki yang mendapat penghargaan dari Badan Bahasa untuk kumpulan puisinya, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu, itu.
Dijelaskannya, Suku Seni memiliki visi utama, yakni mewujudkan ekosistem seni-budaya yang sehat di Riau melalui aktivasi ruang budaya berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Melalui komunitas seni ini, Suku Seni menjalankan beberapa misi seperti membuka ruang kreatif bagi pekerja seni dan budaya untuk mencipta dan mendiskusikan pemikiran mereka; menjadi sebuah laboratorium bagi pengembangan dan pengolahan seni-budaya; meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap dunia seni-budaya; membangun kantong kebudayaan yang produktif, inovatif, dan progresif; membangun sebuah ruang pertemuan kreatif untuk komunitas budaya; dan membangun ruang arsip seni di Riau.
Setiap tahun Suku Seni membuka audisi untuk keanggotaannya. Setelah Husin, Anju, atau Rian memilih keluar, kini beberapa nama seperti Joni Hendri, Baharsyah Setiaji, Adek Feisal Usman, dan sang istri Titin Kasmila Dewi, serta yang lainnya, sampai sekarang masih bertahan, masih ikut menggerakkan komunitas ini bersama puluhan anggota lainnya.
Dalam melakukan menerima anggota, sistemnya lewat pendaftaran dan diseleksi. Bagi yang lolos, mereka mengikuti beberapa tahapan proses. Misalnya mengikuti setiap program yang ada di Suku Seni, dan mereka diminta untuk mencipta karya seni sesuai dengan bidang dan kemampuan mereka masing-masing. Setelah itu keberadaan mereka diserahkan kepada waktu, pada apa yang menurut Marhalim sebagai “seleksi alam”.
“Ini yang berat, karena terus diuji komitmen dan keseriusannya. Tapi yang paling penting itu, Suku Seni harus memfasilitasi dan mengarahkan pengembangan diri anggota, sehingga mereka merasa bahwa Suku Seni adalah rumah mereka untuk berproses,” jelas lelaki yang juga pengajar di beberapa perguruan tinggi tersebut.
Program-program yang dilakukan di Suku Seni selama ini antara lain pertunjukan seni, workshop seni, kelas seni, diskusi seni, pameran, penelitian, dan sekarang sedang mengembangkan ruang arsip seni khusus tentang seni-budaya Riau. Semua yang dikerjakan tersebut mengacu pada semua genre, mulai dari sastra, teater, musik, tari, rupa, dan film.
Marhalim bersama pengurus dan anggotanya memang harus bekerja keras untuk menggerakkan Suku Seni karena dukungan dari pemerintah lokal --Kota Pekanbaru maupun Provinsi Riau-- sangat minim, baik itu fasilitasi maupun pembinaan. Untuk nasional, Suku Seni cukup sering menerima fasilitasi dari Kemdikbud. Dan sangat besar memberikan kontribusi bagi perkembangan Suku Seni sebagai sebuah ruang budaya.
Namun kini kerja keras mereka sudah mulai terasa. Marhalim mengaku selalu ada peluang bagi dunia kreatif untuk memberikan penghidupan bagi pelakunya. Dia sendiri selama ini hidup dari ekonomi kreatif ini. Dan di akhir tahun 2022 ini, ketika Suku Seni menerima Dana Indonesiana, pihaknya mulai menata manajemen organisasi budaya dengan lebih baik. Misalnya tersedia dana untuk memberikan insentif bagi pengelola Suku Seni.
“Dengan banyaknya cabang seni yang dikelola di Suku Seni, kadang merasa kekurangan SDM, tapi saya yakin menggerakkan seni itu tidak harus orang banyak. Asal yang sedikit ini berkarya dan kreatif, serta memiliki komitmen yang tinggi,” jelasnya lagi.
Namun Suku Seni tetap memiliki cabang seni sebagai prioritas, yakni seni teater dan sastra, karena potensi yang muncul cukup banyak di bidang itu. Bisa jadi juga karena dirinya juga berlatar belakang teater dan sastra. Tapi semua bidang, sedang terus diupayakan menjadi prioritas, agar mampu bergerak secara bersama.
Sejak berdiri hingga sekarang, Suku Seni sudah mementaskan 18 pertunjukkan, baik teater, tari, baca puisi, kesenian masyarakat, dll. Kemudian ada 32 diskusi yang sudah diselenggarakan. Mulai dari diskusi teater, sastra, puisi, seni rupa, feminisme, keagamaan dalam seni, politik kebudayaan, seni tari, dan sebagainya, dengan mengundang banyak narasumber dan pakar yang tunak tentang tema-tema tersebut. Pelatihan dan workshop juga puluhan kali dilakukan yang melibatkan banyak instruktur di bidangnya masing-masing seperti bidang jurnalistik, tari, penulisan puisi, teater, kartun, rupa, dan sebagainya.
Nama-nama seperti almahum Al azhar, Dantje S Moeis, Furqon LW, Iwan Irawan Permadi, Taufik Effendy Aria, Prof Tulis Warsito, May Moon Nasution, Muslim, Boy Riza Utama, Wamdi, Fedli Aziz, Dr M Badri, Zainul Ikhwan, dll, adalah para pembicara diskusi maupun intrukstur workshop yang selama ini diadakan oleh Suku Seni.
***
DI mata koreografer Iwan Irawan Permadi, Suku Seni adalah salah satu komunitas seni di Riau yang meskipun baru berumur lima tahun tetapi komunitas ini sudah berani memasang pondasi dan pancang layar untuk menapak menjelajah menuju seni Melayu di masa depan. Menurut Iwan, perjalanan Suku Seni masih akan sangat panjang. Dengan melihat proses dan gerakan yang dilakukan selama ini, Iwan yakin Suku Seni akan terus berkembang dan menjadi komunitas kesenian yang terpandang, baik di Riau maupun secara nasional.
Menurut Iwan, silahturahmi budaya yang dilakukan Suku Seni saat ini juga sudah berjalan dengan baik. Karena silahturahmi tersebut Iwan mengaku berkesempatan bisa berkumpul dengan komunitas ini dalam program dialog seni budaya, workshop, berkolaborasi, dan yang terpenting mereka mau berdialog/diskusi tentang kondisi kesenian saat ini.
“Semoga silahturahmi budaya ini akan terus dipertahankan, karena tujuan berkesenian yang paling mulia adalah silahturahmi,” jelas Iwan saat dihubungi Riau Pos, Jumat (16/12/2022).
Secara pribadi, Iwan salut dengan kerja keras Marhalim Zaini, Ketua Suku Seni. Semangat Marhalim dalam menggerakkan komunitas ini dilihatnya akan menjadi spirits bagi anggota Suku Seni untuk terus yakin di dunia kreatif ini. Iwan juga menjelaskan, Riau sangat perlu hadirnya komunitas-komunitas kesenian independen yang berani memberontak dalam banyak hal. Dia berharap Suku Seni akan terus independen dan menjadi pemberontak dalam kesenian demi kemajuan dunia kesenian di Riau ini.
Terpisah, salah seorang kartunis Riau, Furqon LW, menjelaskan, Suku Seni yang dia pahami adalah komunitas seni yang aktif dan konsisten berkegiatan. Di awal dulu Furqon mengira Suku Seni hanya tunak di teater, namun ternyata mereka juga aktif di hampir semua percabangan seni yang lain. Itu dia rasakan ketika dirinya diundang sebagai pemantik diskusi maupun saat menjadi instruktur pelatihan seni rupa, sketsa dan kartun.
“Dalam usia yang baru lima tahun, Suku Seni sudah menjadi salah satu ‘warna dominan’ dalam ‘kanvas’ berkesenian di Riau,” jelas Furqon, Sabtu (17/12/2022).
Dia yakin dan berharap, dengan konsisten seperti dalam lima tahun ini, Suku Seni berpotensi menjadi salah satu kantong berkesenian di Riau yangg diperhitungkan. Dalam bahasa yang lain, Furqon berharap Suku Seni ke depan menjadi “suku” tersendiri di sebuah “negeri” kesenian. Sebuah suku yang inklusif dalam membangun ekosistem seni di Riau.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru