Benarkah seniman tidak boleh sakit? Hal ini diperbincangkan serius dalam sebuah pertemuan antara seniman dengan berbagai pihak terkait. Seperti apakah isi perbincangan itu?
(RIAUPOS.CO) - SUDAH bukan menjadi rahasia umum lagi, kehidupan seniman dari dulu hingga sekarang masih dalam pola yang sama, seperti merokok, begadang, ngopi, dan tidak menjalani pola hidup sehat. Memikirkan konsep, latihan hingga tengah malam, berjuang menelurkan ide menjadi beberapa alasan seniman tetap melakukan hal tersebut, meskipun tahu kebiasaan ini mengundang penyakit. Para seniman diminta membaur dengan masyarakat pada umumnya, karena pemerintah tidak memberikan jaminan kesehatan khusus untuk seniman, melainkan untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pandemi Covid-19 tak hanya melimbungkan ekonomi dan pariwisata, para seniman juga mendapatkan pukulan telak dan tak bisa mengumpulkan orang untuk membuat pertunjukan. Hal tersebut berdampak pada kehidupan para seniman, dimana seniman kebanyakan tidak memiliki jaminan sosial dan jaminan kesehatan.
Dalam diskusi bertema Seniman Dilarang Sakit beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Seniman Riau (Aseri), Marhalim Zaini, menjelaskan, tema tersebut adalah ungkapan satir yang sama maknanya dengan orang miskin dilarang sekolah. “Karena sekolah mahal, orang miskin dilarang sekolah, karena obat dan biaya kesehatan mahal, seniman yang kurang secara ekonomi dilarang sakit,” jelasnya.
Dikatakan Marhalim tujuan diskusi ini adalah memperjuangkan aspek kesehatan para seniman, di mana seniman adalah bagian dari masyarakat yang juga harus mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk seniman-seminan yang memiliki kehidupan kurang di sisi ekonomi.
Menurut Marhalim, profesi seniman tidak bisa disamaratakan dengan profesi lain, di mana seniman memberikan kontribusi dalam pembangunan sumber daya manusia di masyarakat, berupa sumbangan terhadap kebudayaan. “Tapi ini tak terbaca, seni memberikan pengaruh di aspek mental yang tidak terlihat secara langsung,” tukasnya.
Wakil Ketua Aseri Fedli menyampaikan, seniman secara luas belum masuk dalam pembangunan pemerintah daerah. Padahal, menurutnya, seniman Riau telah berazam menjadi pusat budaya Melayu di Asia Tenggara. Namun saat ini dapat dilihat bahwa kondisi seniman sangat memprihatinkan, tidak ada capaian dari visi tersebut, bahkan secara ekonomi cukup memprihatinkan.
“Memang, saya beranggapan bahwa, seniman tidak masuk dalam mana-mana klasifikasi dalam masyarakat. Dianggap pengangguran, serabutan, ketika berkarya bisa dibayar mahal, tapi bisa tidak sama sekali. Penghargaan seniman belum terwujud,” kata Fedli.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Yayasan Generasi Lintas Budaya Olivia Zalianty berharap seniman dapat menjaga kesehatannya sebaik mungkin, dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk seniman yang abai tentang kesehatan. Ia juga mengatakan, seharusnya ada jaminan kesehatan untuk para seniman. “Apa ada jaminan kesehatan untuk seniman? Harusnya ada,” tukasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau Ade Hartati menilai seniman membentuk diri menjadi komunitas eksklusif, dan tidak membaur dengan masyarakat pada umumnya. Ia berharap seniman menjadi komunitas yang inklusif, sehingga bisa bersinergi dengan pemerintah di tingkat terkecil, serta membangun komunikasi, agar program-program dari pemerintah juga bisa sampai menyentuh lapisan masyarakat termasuk seniman.
“Bangun komitmen, antara seniman, pemerintah, BPJS dan lainnya agar tak ada jurang pemisah. Kita berkomitmen bersama, seniman berkomitmen mengubah pola pikir, pola hidup, untuk membaur dengan masyarakat banyak. Saya berharap seniman menjadi komunitas inklusif, membaur ke masyarakat, sehingga info dari pemerintah bisa didapat dan digunakan sebaik-baiknya. Seniman ekslusif dengan kehidupannya sehingga abai dengan lingkungan sekitarnya,” ucap Hartati.
Selain itu, Hartati menyebutkan ia siap membantu seniman, dengan menjembatani seniman dengan corporate social responsibility (CSR).
Kemudian, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) menyebutkan, pihaknya tidak menyediakan jaminan khusus untuk para seniman, jaminan diberikan secara luas atau berlaku untuk masyarakat umum, yang dapat diakses oleh sipapun.
Deputi Direktur BP Jamsostek Wilayah Sumbar Riau & Kepri Pepen S Almas mengatakan, seniman dapat memilih sebagai peserta penerima upah, maupun bukan penerima upah (BPU), serta membayar iuran sebagaimana mestinya. Sehingga saat seniman sakit atau terjadi suatu hal karena kecelakaan kerja, BP Jamsostek dapat menanggungnya.
“Kita juga ada gerakan nasional peduli pekerja rentan, untuk yang tidak mampu membayar iuran. Jadi bagaimana Aseri ini mencari perusahaan yang mau mengeluarkan CSR dalam bentuk jaminan perlindungan,” kata Almas.
Selain itu, Kepala Bidang SDM, Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru Ade Candra mengungkapkan, pihaknya memberikan jaminan secara umum untuk masyarakat Indonesia. “Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini terdiri dari penerima upah, penerima bantuan iuran dari APBD dan APBN, serta peserta mandiri. Kita hadir untuk seluruh masyarajat Indonesia,” ungkapnya.
Mewakili Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Muhammad Ridwan menuturkan semua orang berhak atas kesehatan, tak hanya seniman. Pihaknya selalu melakukan kegiatan preventif, promitif, kuratif, dan rehabilitatif agar masyarakat dapat sehat.
“Kita mencegah bagaimana agar masyarakat tidak sakit, kita melakukan penyuluhan ke media massa, ada Puskesmas, rumah sakit, agar masyarakat dapat sehat kembali seperti semula,” pungkasnya.(kun)
Laporan MUJAWAROH ANNAFI, Pekanbaru