SENGGANG MARHALIM ZAINI

Puisi Bingal, Pembaca Teking

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2015 - 01:07 WIB

PUISI, sepertinya memang ditakdirkan untuk bertugas me­lepaskan ikatan-ikatan makna pada kata. Maka komunikasi teks puisi, bukanlah komunikasi bia­sa. Antara kata dan makna secara konvensional, tidak mesti seja­lan. Kadang berbelok, menyim­pang, berbalik, bahkan terlepas lenyap begitu saja. Dan rasanya, dalam proses komunikasi sema­cam itu, puisi memang (seolah) tampak egois. Tampak lebih ber­ku­asa atas pembaca. Apalagi, kalau kita sepakat dengan Iser (1980) tentang konsep pengaruh (wirkung) pada karya sastra, puisi lebih sering yang menjadi “supir” dalam mengarahkan reaksi-re­aksi pembaca atas dirinya.

Jadi, si pembaca puisi adalah mereka yang mau aktif, bahkan agresif, dalam proses pemben­tukan sebuah makna. Sebab se­lalu ada ruang kosong yang dise­diakan (teks) puisi, tersebab ika­tan-ikatan makna yang (sengaja) dilepas itu, membuat longgar . Pun, masalahnya, agresivitas pembaca itu, tidak pula ke­mu­dian serta merta dapat memberi kebebasan sekehendak hati me­mberi tafsir, hingga ia lepas pula dari struktur teks puisi itu sendiri.


Benar, puisi multi-interpretable. Tapi ingat, keragaman tafsir bukan bermakna “bebas tafsir.” Kebebasan pembaca puisi, ada­lah kebebasan yang dibatasi—terutama oleh struktur teks itu sendiri. Maka ketika saya me­ngatakan pada banyak kesem­patan (terutama di forum diskusi maupun kelas sastra) bahwa tak boleh ada klaim tafsir tunggal atas puisi, apalagi klaim benar dan salah, adalah sebuah upaya mengamini Juhl (1980), yang bilang bahwa interpretasi karya sastra lebih menekankan pada “dapat diterima” atau tidak.

Dapat diterima atau tidak, menandakan ia relatif. Tak boleh mutlak. Dan relativitas itu di­bangun oleh apa yang kemudian disebut Culler (1975) sebagai kompetensi kesastraan (literary competence) yang dimiliki oleh setiap pembaca. Dalam penga­laman dan harapan pembaca masing-masing itulah kompe­tensi itu bekerja, menyusun ke­mbali ikatan-ikatan konvensi yang telah dilepas oleh puisi, mengembalikan yang terasa “aneh” dalam puisi ke dalam kewajaran (naturalization), dan mengembalikan struktur obyektif puisi dalam kemandiriannya.

Maka, jangan terlampau ber­harap puisi akan “menuruti” ke­hendak pembaca, sebab ia bi­ngal. Ia teking, kata orang kam­pung saya. Namun, dalam keban­delannya itulah puisi hendak menunjukkan bahwa realitas teks di tubuhnya dapat diseret ke dalam wilayah pembacaan sia­papun. Ambiguitasnya dan keter­bukaannya justru di situ. Tanda-tanda, kode-kode, yang diuarkan oleh puisi, seperti mengisya­ratkan kepada pembaca untuk menerima gejala-gejala semiotis yang selalu baru—dan memang semestinyalah begitu.











Tuliskan Komentar anda dari account Facebook