PUISI, sepertinya memang ditakdirkan untuk bertugas melepaskan ikatan-ikatan makna pada kata. Maka komunikasi teks puisi, bukanlah komunikasi biasa. Antara kata dan makna secara konvensional, tidak mesti sejalan. Kadang berbelok, menyimpang, berbalik, bahkan terlepas lenyap begitu saja. Dan rasanya, dalam proses komunikasi semacam itu, puisi memang (seolah) tampak egois. Tampak lebih berkuasa atas pembaca. Apalagi, kalau kita sepakat dengan Iser (1980) tentang konsep pengaruh (wirkung) pada karya sastra, puisi lebih sering yang menjadi “supir” dalam mengarahkan reaksi-reaksi pembaca atas dirinya.
Jadi, si pembaca puisi adalah mereka yang mau aktif, bahkan agresif, dalam proses pembentukan sebuah makna. Sebab selalu ada ruang kosong yang disediakan (teks) puisi, tersebab ikatan-ikatan makna yang (sengaja) dilepas itu, membuat longgar . Pun, masalahnya, agresivitas pembaca itu, tidak pula kemudian serta merta dapat memberi kebebasan sekehendak hati memberi tafsir, hingga ia lepas pula dari struktur teks puisi itu sendiri.
Benar, puisi multi-interpretable. Tapi ingat, keragaman tafsir bukan bermakna “bebas tafsir.” Kebebasan pembaca puisi, adalah kebebasan yang dibatasi—terutama oleh struktur teks itu sendiri. Maka ketika saya mengatakan pada banyak kesempatan (terutama di forum diskusi maupun kelas sastra) bahwa tak boleh ada klaim tafsir tunggal atas puisi, apalagi klaim benar dan salah, adalah sebuah upaya mengamini Juhl (1980), yang bilang bahwa interpretasi karya sastra lebih menekankan pada “dapat diterima” atau tidak.
Dapat diterima atau tidak, menandakan ia relatif. Tak boleh mutlak. Dan relativitas itu dibangun oleh apa yang kemudian disebut Culler (1975) sebagai kompetensi kesastraan (literary competence) yang dimiliki oleh setiap pembaca. Dalam pengalaman dan harapan pembaca masing-masing itulah kompetensi itu bekerja, menyusun kembali ikatan-ikatan konvensi yang telah dilepas oleh puisi, mengembalikan yang terasa “aneh” dalam puisi ke dalam kewajaran (naturalization), dan mengembalikan struktur obyektif puisi dalam kemandiriannya.
Maka, jangan terlampau berharap puisi akan “menuruti” kehendak pembaca, sebab ia bingal. Ia teking, kata orang kampung saya. Namun, dalam kebandelannya itulah puisi hendak menunjukkan bahwa realitas teks di tubuhnya dapat diseret ke dalam wilayah pembacaan siapapun. Ambiguitasnya dan keterbukaannya justru di situ. Tanda-tanda, kode-kode, yang diuarkan oleh puisi, seperti mengisyaratkan kepada pembaca untuk menerima gejala-gejala semiotis yang selalu baru—dan memang semestinyalah begitu.