Tapi, kalaulah pembaca juga mau teking, bingal juga, alias bandel, melawan puisi dengan egois pula, memaksakan kode si pembaca sendiri, saya kira puisi pun tak masalah. Perbenturan kode tekstual yang ada di tubuh puisi dengan kode yang ada dalam cakrawala harapan pembaca, adalah bersifat dialektis. Sebab puisi tak pejal, ia elastis, dan dapat berkelindan sedemikian rupa dalam ruang “perdebatan” sesengit apapun. Puisi, segera akan mengeluarkan senjata pamungkasnya, yakni apa yang disebut sebagai “makna potensial.” Makna yang memang selalu tersedia dalam puisi sebagai “mesin” yang memproduksi tanda.
Persoalannya kini, memang, keduanya teking, keduanya bingal. Sudah tahu puisi perangainya begitu, si pembaca tak mau pula berupaya memasuki ruang-ruang kosong yang tersedia. Malah, pembaca, dalam banyak kasus, seolah memaksakan dirinya masuk ke dalam teks puisi, sebagai “penguasa” teks. Ia seolah paling tahu ihwal tubuh teks puisi, padahal ia sesungguhnya sedang bercerita tentang dirinya sendiri. Ia paksakan cakrawala harapannya yang ambisius itu ke dalam tubuh teks puisi. Maka, ujung-ujungnya, kesunyian dalam puisi, menjadi hingar-bingar oleh ambisi sebuah pembacaan.***