SENGGANG MARHALIM ZAINI

Puisi Bingal, Pembaca Teking

Seni Budaya | Minggu, 22 November 2015 - 01:07 WIB

Tapi, kalaulah pembaca juga mau teking, bingal juga, alias bandel, melawan puisi dengan egois pula, memaksakan kode si pembaca sendiri, saya kira puisi pun tak masalah. Perbenturan kode tekstual yang ada di tubuh puisi dengan kode yang ada da­lam cakrawala harapan pem­baca, adalah bersifat dialektis. Sebab puisi tak pejal, ia elastis, dan dapat berkelindan sedemi­kian rupa dalam ruang “perde­batan” sesengit apapun. Puisi, segera akan mengeluarkan se­njata pamungkasnya, yakni apa yang disebut sebagai “makna potensial.” Makna yang memang selalu ter­sedia dalam puisi seba­gai “mesin” yang memproduksi tanda.

Persoalannya kini, memang, keduanya teking, keduanya bi­ngal. Sudah tahu puisi perangai­nya begitu, si pembaca tak mau pula berupaya memasuki ruang-ruang kosong yang tersedia. Ma­lah, pembaca, dalam banyak ka­sus, seolah memaksakan dirinya masuk ke dalam teks puisi, se­bagai “penguasa” teks. Ia seolah paling tahu ihwal tubuh teks puisi, pa­dahal ia sesungguhnya sedang bercerita tentang dirinya sendiri. Ia paksakan cakrawala harapannya yang ambisius itu ke dalam tubuh teks puisi. Maka, ujung-ujungnya, kesunyian da­lam puisi, menjadi hingar-bingar oleh ambisi sebuah pem­bacaan.***


 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook