Kini, hijau jadi jualan. Jadi tagline, jadi jargon, jadi cogan. Hijau tak lagi merujuk pada warna. Hijau sudah menjadi “kecenderungan” yang dialamatkan kepada segala pembawaan dan perilaku yang serba “ramah lingkungan”. Namun, kata ini (hijau, dengan “h” kecil) seakan mengalami pemerasan alias eksploitasi dan pemenjaraan makna. Dia hanya sekedar ditempelkan di plastik pembungkus sebuah produk, dia juga jadi penghias papan nama sebuah koorporasi yang sudah nyata-nyata bertindak di luar tabiat hijau.
Penganiayaan makna terhadap kata hijau, juga berlangsung dalam semua produk, sampai ke pusat-pusat layanan publik; terminal, rumah sakit, pelabuhan, kantor pemerintah, sekolah, kampus dan seterusnya. Yang paling lucu, ada juga sebuah masjid yang menempelkan jargon hijau. Kita bertanya; kurang apa lagi masjid atau rumah ibadah? Pembawaan jamaah yang mendatangi rumah ibadah dengan rasa takarub, renjana saleh dari relung terdalam, bukankah ini sudah lebih dari hijau nan sejuk itu? Tapi, karena dia hanya merek dagang dan jualan, dia seakan hampa makna.
Gerakan pro lingkungan oleh lingkaran arsitek muda, desainer muda, mulai menjamur di kota-kota yang gemeretap. Dia seakan telah menjadi gaya hidup. Mereka menjadi nadi yang menjanjikan kepada masa depan bumi; bahwa bumi, terutama ligkungan tempat kita berdiam, hanya bisa diselamatkan melalui cinta, kasih, menyatu dengannya. Tidak menjarakkan diri. Maka alamilah, jangan berwacana. Kaum muda perkotaan yang terdidik di lembaga-lembaga pendidikan yang bagus di Jawa atau luar negeri, telah membenih tampang-tampang muda belia untuk masa depan yang lebih hanif, masa depan yang menerima segala ihwal dan perbedaan sebagai yang terberikan. Maka alamilah. Jangan berwacana lagi. Sebab, betapa banyak koorporasi yang bergerak di bidang hutan dan kehutanan, di satu disi, wajah mereka riang ria dengan jargon konservasi (hijau), namun di sebalik itu, sebenarnya ihwal ini tak lebih dari upaya menutup bopeng sesungguhnya di wajah mereka sebagai koorporasi perusak lingkungan.
Jualan hijau itu, bisa efektif dilakukan oleh rakyat jelata, semacam clash action; boikot segala produk yang dihasilkan oleh perusahaan perusak lingkungan sebagaimana dilakukan oleh komunitas Eropa dan baru-baru ini diikuti oleh Singapura. Cara ini, ternyata efektif, untuk menekan perilaku brutalisme lingkungan yang menjadi sandaran hidup bersama masyarakat manusia. Kita adalah sekumpulan migran yang tersesat, yang hanya diberi hak tumpangan bernama “surga bumi”. Bukan milik sejati bagi manusia. Dia hanyalah halte bersama tempat kita menanti kenderaan besar, untuk melanjutkan perjalanan nan jauh ke dunia sana.
Jalan cinta,
jalur penghayat oleh pelaku-pelaku tasawuf dan tariqat yang berkembang
molek di negeri ini, di sepanjang sungai-sungai besar di Riau, di
punggung gunung, sepanjang lereng dan lembah, sebenarnya adalah “gerakan
hijau” sejati, yang dijulang oleh para penghayat spiritualisme. Jalur
ini amat dekat dengan alam, dengan hutan, dengan sungai, dengan tebing
dan segala fauna yang hidup bersamanya. Kesadaran spiritualisme jalan
cinta ini amat tergantung pada air dan kualitas air. Kenapa air? Air
adalah alat utama untuk “bersuci” (thaharah). Bersuci atau pensucian
adalah bekal awal dan vital seorang penghayat untuk menghadap Sang
Khalik. Bersuci adalah syarat mutlak, yang harus dilakukan seseorang
pencinta. Bersuci simbolik dengan menggunakan air secara simbolis itu,
sebenarnya adalah pensucian hati, untuk berhadap-hadap secara partnership
(mitra sekaligus matra) dengan alam, dengan lingkungan, dengan laut,
dengan sungai, dengan gunung, terutama untuk menghadap Sang Khalik.
Orang-orang yang suci hatilah yang dengan khusyuk bisa berdepan dan
berdialog dengan sesuatu Nan Kudus, Nan Tinggi dan Nan Luhur. Bagaimana
air yang berkualitas untuk sebuah thaharah? Atau air layak untuk
berwudu? Jawabannya adalah, jaga dan pelihara kualitas hutan yang
menjadi stilator air-air sungai di lingkungan hutan lebat tropis itu.
Di
sini tak perlu cogan hijau. Bagi mereka, hijau telah didarafkan dengan
“H” besar. Bukan “h” kecil lagi. Air yang mati, air yang tak bergerak,
berkecenderungan menjadi air musta’mal (air yang tak layak untuk
bersuci). Tindakan yang paling sebati untuk itu adalah semua energi dan
daya oleh para pelaku jalan tasawuf dikumpulkan menjadi kekuatan besar
untuk menjaga lingkungan penghasil air bersuci itu. Maka, jangan aneh,
gerakan anak-anak muda dengan gaya “tasawuf perkotaan” begitu marak di
kota-kota, melalui ikhtiar bina mulia situs-situs tua peninggalan cagar
budaya dengan cogan; Kunjungi, Lindungi dan Lestarikan. Apalah susahnya
mengunjungi suatu tempat, kemudian dengan maksud melindungi dan
melestarikan sesuatu yang telah ada di depan mata dan tercatat dalam
ingatan sejarah kolektif. Lalu kenapa harus menghancur dan memusnah yang
telah wujud sebelum kita ada?
Saat ini, kita hanya memiliki
satu harapan kepada anak-anak muda, para remaja dan kanak-kanak yang
tengah menjalani masa persemaian dan pembenihan nilai dan perilaku yang
cinta lingkungan. Mungkin, kita harus membayar mahal, untuk memperoleh
satu generasi yang memiliki kesadaran tinggi tentang lingkungan. Lewat
momentum serbuan asap dan pembakaran lahan oleh koorporasi yang selama
ini berbungkus perilaku mengusung secara bentuk cagar lingkungan, cagar
hutan tropis, semua itu tak lebih dari upaya “musang berbulu ayam”. Cara
mereka untuk menjinakkan hambatan eksternalitas, demi memanjakan
perilaku liar dan “jalang” mereka terhadap pencerobohan lingkungan yang
tiada henti. Kita hanya bisa berharap pada satu generasi yang tersisa
oleh serbukan asap selama beberapa tahun, selama beberapa bulan, agar
terbentuk sebuah kesadaran untuk melawan apa pun bentuk, modus, modul,
jualan dan cara sebuah koorporasi atau sejumlah koorporasi yang
mengusung hijau sebagai jualan hampa. Rakyat bisa menentukan pilihan dan
keputusannya; boikot segala produk yang mendaku-daku diri sebagai
produk hijau itu!***