CERPEN RIAN HARAHAP

Ladang dan Pemakaman

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:01 WIB

Ladang dan Pemakaman

Orang sekampung sibuk  menangis. Membentur-benturkan kepalanya. Ada yang ke besi padat, tiang rumah, bahkan ke seonggok kotoran. Darah mengucur membasahi lantai-lantai putih, bercorak merah saga. Mereka terkutuk oleh sebuah dahaga, kehilangan jiwa dalam raga. Darah itu pun mengalir seiring hujan membelok ke gorong-gorong sebesar lubang penjajah zaman Jepang, menyusuri hingga tapal batas lautan lepas. Keheningan laut biru itu pun berubah jadi laut merah. Setiap kubiknya, tercipta dari ribuan atau puluhan ribu benturan ke tiang-tiang besi. Laut memerah dan membanjiri negeri seberang, orang-orang negeri seberang tenggelam.

***

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Apa alasan Anda? Ya, alasan Anda membunuh semua orang di kampung Anda?”

“Saya tidak membunuhnya Bapak Hakim, mereka membunuh dirinya sendiri?”

Hakim itu pun terpelongo, ini adalah pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama setelah sepuluh kali dipertanyakan. Ia masih belum percaya dengan gerak-gerik pemuda tanggung yang duduk di kursi pesakitan itu. Wajahnya yang tak seperti seorang terdakwa, tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang kriminal sejati. Setidaknya tanda bahwa ia memang seorang berandal, tak melekat dari bentuk luarnya. Wajahnya bersih, mungkin setiap hari ia mencukur kumis dan jenggotnya, tak ada bekas luka. Dalam pikiran hakim tersebut masih bergentayang, kecenderungan pemuda ini seorang pembunuh berdarah dingin.

“Baiklah, saya tutup pertanyaan di sini, tapi Anda tetap dihukum karena Anda satu-satunya orang yang hidup dan tersisa dari tragedi kematian masal di kampung tersebut.”

“Ya Pak Hakim.”

“Vonis Anda, hukuman mati karena Anda melakukan kejahatan besar dan tidak mengakuinya.”

“Saya terima, maaf satu lagi, saya akan ceritakan apa yang membuat orang sekampung bunuh diri.”

Seketika, keluarga orang kampung yang datang dari negeri lain itu terdiam. Suasana gaduh yang senang menyambut hukuman mati, menyusun hening. Palu pun tak jadi diketuk, hakim membenarkan duduknya seakan siap untuk mendengarkan kesaksian lain dari pemuda tanggung ini. Kontan pula cuaca diluar seakan mendukung pengakuan-pengakuan yang akan dibeberkan. Suasana menjadi mendung dan gerimis. Pelan-pelan pemuda itu beranjak dari kursinya serta meminta penjaga membuka borgol yang membelenggu kedua tangannya. Kedua penjaga itu pun bingung, namun raut wajah hakim membuat mereka menyakukan kembali borgol miliknya. Pesakitan ini tak akan lari, pikirnya.

“Siapa aku? pertanyaan besar di kepala orang-orang yang membenciku. Mengapa hanya aku yang bisa kembali, lantas dimana ratusan orang yang berada di kampung itu? Aku akan menjawabnya! Kampung kami memang tersohor. Di negeri ini, kampung kami menjadi langit dan kampung-kampung lain tahu betul itu. Alasannya disini hidup kami serba berkecukupan. Tak pernah terbersit di kepala kami. Siulan-siulan memanggil untuk keluar dari kampung. Disini semuanya ada, dan kami yang punya. Disinilah semuanya dimulai, ketika kami tahu tanah kami kaya. Nenek moyang dan tetua adat kami dahulu punya pesan yang kami lupa awal dan akhir kalimatnya. Seolah-olah kami sengaja membuat permanen lupa di kepala. Gerakan serentak itu pun menular ke anak cucu kami. Kami semakin kaya, hidup semakin jauh dari bumi. Di langit semuanya ada, mulai dari hujan sampai ke awan. Kami tak perlu lagi bumi. Bagi kami bumi itulah mengajarkan kami sampai ke langit. Menjadi hartawan yang tak habis-habis timbunan emasnya.”

“Kampung itulah kampung kami. Di bawah tanah kami, ada ladang-ladang minyak. Kami orang minyak. Kampung minyak, semua yang kami punyai paling tidak sedikit berminyak. Rumah kami dari minyak, kendaraan mewah kami dicipta dari berkubik-kubik minyak. Jangan sangka minyak kami, bisa habis? Tidak minyak kami tak akan habis. Pernah suatu ketika orang pandai datang menengok ladang-ladang minyak kami. Dia pun menelan ludahnya dalam-dalam. Ia merasa takjub dengan kedalam dan kehitaman berlian di tanah kami.”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook