Oleh Dessy Wahyuni
ajari aku bermantra, Riauku
seperti ngiau Sutardji
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
ajari aku mengemas murka, Riauku
seperti teriak Fakhrunnas, “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”
agar aku mampu mengendalikan diri
ajari aku mengeja waktu, Riauku
seperti pesan Taufik Ikram Jamil “Kepada Jawa”
betapa cepat waktu pergi
sementara datang bukan bagian dari dirinya
agar aku tidak jadi pelupa
ajari aku berintrospeksi, Riauku
seperti “Solilokui Para Penunggu Hutan” Marhalim Zaini
agar aku dapat mengenal diri
ajari aku dengan puisimu, Riauku
agar aku tahu segala hakikat
seperti Rida menafsir “Jebat”
Kutipan tersebut merupakan potongan sajak “Ajari Aku, Riauku” yang ditulis Agus Sri Danardana. Sajak ini sempat dilantunkannya pada 21 Januari 2016 lalu dalam acara lepas sambut Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau.
Danar, begitu dia biasa disapa, telah menjadi Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau hampir tujuh tahun lamanya. Awal tahun ini, dia meninggalkan Bumi Lancang Kuning menuju ranah Minang untuk menjadi Kepala Balai Bahasa Sumatra Barat.
Lalu, apa yang membuat pria berambut panjang itu mengarca, seolah enggan beranjak dari Bumi Lancang Kuning ini? Rupanya, dalam sajak “Ajari Aku, Riauku” itu ia menyembunyikan salah satu alasannya. Betulkah demikian? Mari kita coba membualkannya.
Bagi Danar, Riau memiliki arti tersendiri. Riau (dan juga “adiknya” Kepulauan Riau) diyakininya menyimpan banyak sumber daya. Sebagai salah satu kawasan tonggak bahasa dan sastra Melayu, kedua daerah itu telah melahirkan banyak pujangga atau sastrawan. Sebut saja Raja Ali Haji, Suman Hs., Sutardji Calzoum Bachri, Rida K. Liamsi, Fakhrunnas M.A. Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, dan masih banyak lagi nama yang lain.
“Umumnya, merekalah (pujangga atau sastrawan itu) yang paling tunak merajut pernik-pernik kehidupan masyarakat dan lingkungannya dalam karya (sastra),” demikian kata Danar dalam sebuah obrolan di Balai Bahasa Provinsi Riau. Bisa jadi, karena keyakinannya itulah Danar memetaforkan Riau dalam diri lima sastrawannya: Sutardji Calzoum Bachri, Fakhrunnas M.A. Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, dan Rida K. Liamsi.