PERISA YUSMAR YUSUF

Persuaan Subyek

Seni Budaya | Minggu, 20 Maret 2016 - 00:03 WIB

Dulu, hubungan antara guru dan murid berada di atas garis kependetaan. Dia berlaku searah. Ujaran berlangsung bak khutbah. Guru mengatur, menunjuk, menjelaskan. Sebaliknya murid dalam tataran pasif, menerima dalam langgam akal budi dan akhlak teruji. Jika salah dalam laku hubungan, maka murid bisa berakibat fatal; salah adab, kurang ajar, tiada berkat dan seterusnya. Demikian pula, hubungan mursyid dengan para salik, seakan diurus oleh sebuah garis tebal kependetaan. Akibatnya? Sekolah yang dibangun atau pun rumah tariqat yang dibina seakan berwarna kependetaan, guru atau pun mursyid berlaku layaknya pandita (pendeta), orang suci@ resi yang tak membawa salah, malah tak boleh disalahkan. Hubungan ini mengalami formalitas sedemikian rupa; fromalitas kependetaan.

Para pencari Tuhan dan kebenaran mutlak di awal-awal sejarah, menjalin persuaan dalam pertemanan spiritual, yang tak mengenal lembaga guru, lembaga “gembala”, atau malah lembaga pandita. Pertemanan itu malah saling memperkaya. Jalan nukil dalam mencari Tuhan itu sebanyak jumlah makhluk Tuhan. Ketika terbentuk pertemanan spiritual melalui persuaan demi persuaan, maka pertemanan itu lebih berpembawaan memperkaya dimensi; antara lahir dan batin, atau antara syariat dan hakikat. Bentuk persuaan itu berlangsung dalam dialog. Maka dikenallah teman dialog. Terjadi komunikasi dua arah (binary, dyadic); ada faktor duaan (deuce) yang seimbang. Tiada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Keduanya saling mengisi dan memperkaya. Persuaan ini tak hanyut dalam lembaga serba formal, tetapi dimabuk dalam jalan cinta, jalan kasih, menuju kepada hak yang tertinggi. Di sini, agama atau pun ajaran yang diujar itu menawarkan sisi batin, sisi hakikat, bukan penampakan luar, penampakan lahir semata.


Persuaan antara Khidir dan Musa, secara awam dimaknai sebagai persuaan antara guru dengan murid. Pada hemat saya, bukanlah persuaan ini, bukanlah relasi guru dan murid dalam garis kependetaan. Ini adalah medan dialog yang bergelombang, tak datar dan tak monoton. Medan dialog yang menyediakan sisi batin dan hakikat yang serba tak terduga. Musa wakil dari dimensi syariat, sementara Khidir mewakili sisi hakikat. Pertemanan ini saling memperkaya dalam bentuk dialog yang bukan dibungkus dalam semangat kependetaan. Jika hubungan guru dan murid, maka murid harus berlaku pasrah, tak boleh memprotes, atau membantah sikap, ucapan dan perilaku sang guru. Singkat kata, murid harus pasrah total. Namun, relasi Musa dan Khidir, bisa diwarnai dalam sejumlah tanya, sekumpulan usik, walau pada derajat ketiga pertanyaan usil Musa itu menjadi penutup persuaan hikmah yang disalurkan melalui kehadiran Khidir.

Maka, persuaan Khidir dan Musa menjadi momentum dan penanda tentang perlambang pertemuan syariat atau dimensi lahiriah yang diemban Musa dengan dimensi hakikat atau batiniah yang dipikul oleh Khidir. Lalu, kisah persuaan yang serupa dengan ini menjulur ke belakang. Maka, tersebutlah hubungan yang tak dimaksudkan sebagai hubungan kependetaan; antara Hasan al Basri dengan Rabi’ah al Adawiyah, atau pun hubungan antara Rabi’ah dengan Sufyan at-Tsauri; al Hallaj dan al Junaid; Jalaluddin Rumi dengan Syamsuddin al Tabrizi. Relasi di antara mereka ini, dimaksudkan untuk membudayakan dialog, saling menghargai subyektivitas spiritual masing-masing. Tak ada yang memposisikan diri sebagai guru atau sebagai murid per se. Terjadi saling tukar pengalaman dan saling memperkaya pengetahuan dan kebijaksanaan.










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook