PERISA YUSMAR YUSUF

Persuaan Subyek

Seni Budaya | Minggu, 20 Maret 2016 - 00:03 WIB

Sayangnya tradisi dialogis ini tak berlanjut. Dia beralih menjadi hubungan antara guru dan murid dalam semangat kependetaan. Dalam sejarah panjang tentang perjalanan spiritualisme ada beberapa gambaran yang melampaui derajat sang guru oleh murid-murid mereka secara spiritual. Rabi’ah al-Adawiyah diakui beberapa hasta lebih maju dari sang “guru” Hasan al-Basri; demikian pula al Junaid mengakui kelebihan puncak gunung spiritualitas “muridnya” bernama al Hallaj. Begitu pula sang samudera spiritualitas Ibn Arabi melebihi jangkauan sang guru Zahir ibn Rustam. Malah khusus dalam peristiwa Ibn Arabi, yang menjadi inspirator agung jalan dan laku spiritualisme bagi dirinya adalah puteri sang guru bernama al Nizham. Ihwal ini terpercik dalam buku agung beliau “Tarjuman al-Asywaq”.

Setiap ujaran memiliki dimensi lahir dan dimensi batin. Begitu pula dengan agama, juga memiliki dimensi lahir dan dimensi batin. Sebuah kata yang dilontar oleh seorang penyair, dia (kata itu) memiliki makna analogis (lahir dan aforisme) sekaligus makna anagogis (batin-spiritual). Syair-syair yang digubah oleh para penyair lebih sarat dengan muatan makna analogis atau aforisme. Sementara puisi yang ditulis oleh para sufi lebih menyentuh wilayah dalam (batin) dengan tonjolan makna anagogis yang kuat dan jeluk. Maka, jalan analogi ini paling tidak ikut memperkaya pemahaman kita tentang kehadiran sisi lahir dan sisi batin sebuah agama. Begini analogi itu; Agama Yahudi yang diusung Musa adalah agama fiqih, agama hukum, atau agama syariat. Taurat berbincang tentang kewajiban dan perintah. Teologi dari agama Yahudi adalah “Bangsa Terpilih”. Sebaliknya, agama Nasrani dikenal sebagai agama cinta dan kasih. Lebih membatin. Teologinya “Jalan Selamat”. Kemudian datang Islam selaku penutup, dengan maksud menggabungkan agama fiqih dan agama cinta. Teologinya “Rahmatan lil Alamin”. Namun, tersebab oleh “alat pembacaan” kita terhadap Islam itu hanya dari sisi syariat dan hukum (dimensi lahir saja), maka Islam kembali menjadi agama fiqih. Kita meninggalkan dan membuang “alat pembacaan” agama cinta dan kasih bernama tasawuf. Dari sini kisah tentang boleh tak boleh, halal dan haram, mengusung dimensi jalaliyah Allah dengan keras dan penuh degub. Dia menjadi agama yang diformalkan dalam sejumlah tegakan fiqih nan kaku. Dia bertindak obyektif. Meninggalkan dimensi subyektivitas, berupa “pengalaman beragama”, melumpuhkan emosi ke-Tuhan-an. Dia tergiring menjadi jalur serba searah, bak garis kependetaan itu.

Baca Juga :BPJS Ketenagakerjaan Dumai Gelar Monitoring dan Evaluasi Perisai







Tuliskan Komentar anda dari account Facebook