OLEH: YUSMAR YUSUF

Berharap Hujan

Riau | Minggu, 12 Juli 2020 - 10:05 WIB

Berharap Hujan

Arkian, tentang  balas dendam. Setiap orang punya dendam. Dan diksi dendam ini lebih sarat dengan makna pejoratif dan konotatif, bermuatan serba negatif. Namun ada pula dendam yang bermuatan positif ketika orang yang berdendam itu ingin mewujudkan kebahagiaan bagi segala makhluk. Sang pemegang kunci ilmu (Syaidina Ali) berujar; “balas dendam terbaik itu adalah dengan cara mengubah diri kita menjadi lebih baik”. Maka, saat masa-masa pandemik inilah sebuah ranah uji terbaik untuk meninjau dan menelisik apakah kita termasuk seorang yang adaptif dalam segala bentuk perubahan, walau terkesan ekstrim sekalipun.

Sumatera, khususnya Riau harus dengan cermat mengikuti perkembangan iklim dalam masa pandemik ini. Memasuki musim kemarau, kita hanya berlaku dalam pasrah tingkat paling rendah (menadahkan telapak tangan) berdoa agar diturunkan hujan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebumian, terutama pembakaran hutan yang telah “mentradisi” sejak 25 tahun kebelakangan ini. Riau, terutama masyarakatnya harus mengubah pola dan jalan fikirannya tentang iklim yang tetap (berubah); tentang bagaimana menyikapi bumi yang sudah demikian kerontang dengan tampilan serba coklat (tak lagi hijau) di permukaan. Pergeseran musim, memberi tanda kepada kita untuk juga segera bergeser dalam sikap dan perbuatan, agar menyesuaikan diri dengan kenyataan iklima itu. Kalau juga masih membawa tabiat-tabiat lama, maka kita akan berdepan dengan sejumlah kiamat yang kita ciptakan sendiri lewat tindak-perbuatan kita ke atas dada bumi yang tiada henti dan tiada perhitungan serba toleransi.


Berharap hujan untuk menyelesaikan persoalan kebumian, adalah sebuah tindakan naif dan serba dungu. Pemerintah juga harus tampil keras dalam penegakan hukum dan aturan tentang pencerobohan lingkungan ini. Sebab, kita yang sedang tergila-gila dengan istilah “New Normal” atau “Adaptasi Kebiasaan Baru”, bisa-bisa hanya terjerumus dalam penggunaan istilah semata, sementara perilaku kita terhadap lingkungan sama sekali tak berubah, tak menyesuaikan dengan kenyataan baru, yang menuntut kita untuk bekerja secara cerdas, bukan hanya kerja secara keras. Orang kita memang piawai dalam mengolah istilah-itsilah baru yang terkadang dibolak-balik, sehingga dia menjadi semacam gerakan nasional; “Mengolahragakan masyarakat, memasyarakatkan olahraga”. Dan banyak lagi pola-pola permainan kata yang menjadi gerakakan itu. Nanti, kita malah khawatir istilah “New Normal” itu seakan-akan diartikan sebagai bahwa kita “Baru Normal”. Lalu, normal kah kita?

Wah, ketika berdepan dengan persoalan lingkungan, ketika berdepan dengan lahan baru, hutan baru, rimba baru, kita mendatanginya dengan perilaku yang serba abnormal, jauh dari perilaku normal. Lihatlah dalam beberapa bulan ini, ada celah sedikit tidak nampak hujan turun, di sebuah kabupaten mulai terjadi pembakaran lahan. Kita seakan tak pernah jera dengan segala deraan asap yang mengepung dan membukus negeri ini, seakan hilang dari papan catur peradaban dunia selama lebih dari enam bulan. Anak-anak dan orang lanjut usia tercuap-cuap ingin bernafas. Sekolah terinterupsi; libur. Para penyair menyentil dengan syair dan puisi, namun tahun hadapan kenyataan ini berulang kembali. Para pengkhotbah dan penyair mengulang lagi bahan-bahan lama untuk dilantun dan disergahkan ke tengah publik, bahwa perbuatan menganiaya lingkungan setara dengan kejahatan peradaban dan kejahatan kemanusiaan. Sekali lagi, musim-musim kemarau yang panjang yang dipenuhi asap, seakan menjadi hujan hujat, hujan syair dan hujan khutbah yang diulang-ulang tentang tema yang ringkih bernama asap jerebu yang berulang-ulang tiada jemu.

Kita hanya bisa memulai, tapi tak bisa mengakhiri segala perbuatan dan tindakan. Kita seakan sekumpulan kanak-kanak yang bermain api. Ketika api menyala dan membesar, kita pun bersoak dalam sejumlah riang-ria, namun tak tau harus memadamkannya, ketika api membesar, menjalar dan menjadi ancaman bagi kehidupan. Kita lalu diam, terperangah dan meratapi api, bukan memadam api. Menjerit sejadi-jadinya, di depan api, seakan api akan padam oleh jeritan histeris itu. Oooh, sama sekali tidak. Kita tak memiliki daya “untuk membalas dendam” secara positif itu. Apa yang disedut dari kata bijak Syaidina Ali di atas, sama sekali tak berdenyar di dalam benak kita. Kita mengalami jalan buntu, kita tak mau dan tak mampu untuk mengubah diri menjadi diri lebih baik. Kita malah memaksa, bahwa lingkungan lah yang mengubah dirinya, bahwa orang-orang lain yang harus mengubah diri mereka, kita sama sekali tak ada niat dan tergerak untuk mengubah diri menjadi diri yang lebih baik.

Terkesan ironi, kita hanya bersorak dan meminta-minta kepada sesuatu yang berada di luar kiri kita agar mereka mengubah diri mereka demi diri kita. Jangan harap itu akan terjadi. Kita menderetkan sejumlah tonggak-tonggak ketololan di depan peradaban masyarakat dunia, bahwa kita memang dungu, muram, murung dan serba bodoh ketika berdepan dengan diri sendiri. Kita hanya berharap hujan yang turun, yang merupakan suatu entitas, berada di luar diri kita (hujan). Kita tak mampu menerjunkan hujan dan gemuruh hujan yang ada dalam diri kita, sehingga kita menjadi makhluk yang tak sekadar menuntut-nuntut. Kita menjadi sebarisan makhluk yang menuntut dan berhiba diri di depan kelakuan kita yang buruk buram itu.  Kita menolak diri sendiri sebagai entitas yang merdeka, entitas yang independen untuk menentukan masa depan yang lebih baik dari sejumlah kebodohan dan kedunguan yang kita jejerkan pada masa lalu dan masa kini.

Baca Juga : Rasa Merdeka

Kita, tak lebih dari sejumlah makhluk yang menanti datangnya kiamat, dan tak pernah berbuat sesuatu untuk mengulur-ulurkan waktu untuk kiamat itu tiba. Kita mendorong kiamat lebih cepat, setelah itu kita memaki Yang Maha Tinggi,  memarahi Tuhan, kenapa kita dikasi deraan dan cobaan tiada sudah. Seakan-akan Tuhan bisa didikte dengan sejumlah proposal doa yang dilantunkan oleh orang-orang yang ceroboh dan menceroboh, baik terhadap dirinya, apatah lagi terhadap makhluk lain dan majelis lingkungan yang lebih luas. Kita tak lebih dari sekedar makhluk yang melolong di siang bolong, seraya menebas-nebaskan pedang di sepanjang jalan, pada saat kita sedang mabuk. Orang-orang di pinggir jalan itu kena getah dan akibatnya atas tebasan pedang si mabuk ini. Akankah hujan turun oleh ketakutan akan tebasan pedang para pemabuk?

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook