Oleh Citra D Vresti Trisna
"Mampukah puisi menjawab realitas dan keresahan zaman?"
Di tengah kemerosotan kaliber karya sastra di Indonesia --termasukkarya puisi-- membuat pertanyaan di atas terdengar muluk. Menaruh harapan besar pada puisi dan menjadikannya sebagai cita-cita kolektif dianggap tindakan yang terburu-buru. Ada baiknya, sebelum lebih jauh menaruh harapan pada puisi sebagai cita-cita kolektif, ada baiknya mempertanyakan dulu seberapa jauh penyair di Indonesia serius membenahi mutu puisi.
Konsep ideal sebuah puisi tidak bisa dilepaskan dari peran asalnya sebagai penggambaran atas saripati realitas kehidupan sehari-hari yang dikemas dalam keindahan estetik kata. Walaupun banyak pihak merasa optimis dengan dunia kesusastraan di Indonesia pascamedia sosial, produktivitas puisi tidak sejalan dengan mutu dan kualitasnya. Indikator untuk menilai kualitas puisi tidak bisa dilihat secara sepihak dari gencarnya informasi pemuatan karya melalui grup Facebook. Demikian pula, ruang untuk sastra yang diberikan media massa setiap minggunya juga tidak dapat menjadi dasar penilaian kualitas karya puisi. Keduanya hanya sebagai indikator yang menunjukkan pada kita bahwa puisi memang tidak berhenti ditulis.
Hinggar bingar puisi di dunia kesusastraan hari ini tidak lebih dari sekadar gejala lumrah atas perilaku katarsis “manusia kamar” yang berusaha eksis. Sejarah dikotomi tujuan dan fungsi sastra sebagai perjuangan kelas dan sastra untuk “sastra” bergeser menjadi sekedar kebutuhan eksistensi yang dangkal.
Untuk mengukur akurasi dari penilaian saya mengenai kualitas puisi hari ini bisa dilihat dari rentang waktu lahirnya sebuah karya yang dimuat di media. Kita bisa melihat dan mengambil contoh beberapa orang penulis yang karyanya kerap muncul di grup facebook sastra minggu. Dalam satu minggu, karya seorang penulis bisa dimuat di dua sampai tiga media sekaligus. Logikanya, dalam sepekan penulis tersebut akan membuat kurang lebih dua puluh puisi dalam sepekan. Kemudian, di minggu berikutnya, nama penulis tersebut juga muncul di beberapa media lainnya. Dari realitas ini, kita perlu mempertanyakan kualitas karya penyair dan proses kreatifnya.
Realitas ini juga menunjukkan karya yang hadir setiap hari dan setiap minggu tidak lebih dari sekadar “rutinitas” dan proses adopsi gaya ungkap dan permainan kata, tetapi miskin substansi. Bisakah kita menemukan “kedalaman”, ketajaman, dan kualitas karya pada dua puluh puisi yang lahir dalam kurun waktu yang tidak sampai sepekan? Substansi macam apa yang ditawarkan dari puisi-puisi tersebut? Jangankan mempertanyakan peran puisi dan sastra dalam menjawab realitas dan keresahan jaman, pertanggungjawaban sosial atas karya yang dihasilkan setiap minggunya pun belum tentu mampu.
Suatu hari seorang kawan jauh saya pernah bertanya sinis, “Mau jadi apa sastra Indonesia bila puisi-puisi yang ada hari ini tidak lebih dari ’buah-buahan dan sayuran di kebun’ yang disulap jadi puisi?” Mungkin, sinisme kawan saya bisa dipahami bila melihat dari “keseragaman” puisi di media massa dan media sosial yang ditulis berdasarkan trend dan frekuensi kemunculan yang cukup sering.
“Kematian puisi” hari ini tidak bisa dilepaskan dari kesalahan metode belajar menulis puisi. Dari pengamatan saya di beberapa komunitas penulis, metode belajar yang diterapkan di dalamnya adalah membaca puisi-puisi yang sering dimuat di media massa kemudian membuat karya serupa. Selain itu, kesalahan mendasar lainnya adalah proses mengukur kualitas puisi di beberapa komunitas hanya dilihat dari seberapa sering karya seorang penyair dimuat di media. Proses semacam inilah yang membuat puisi di Indonesia hari ini tidak lebih dari “keranjang buah” tanpa kedalaman substansi. Terlebih lagi, penulis di beberapa komunitas tersebut seakan dipacu untuk “menghayati” penulisan puisi media sebagai upaya agar karya-karyanya segera dimuat.