Generasi muda saat ini hanya mendalami puisi-puisi dari yang disuguhkan media tanpa memiliki referensi pembanding. Padahal, sangat banyak karya-karya yang lahir dari penyair yang memilih menghindari kanonisasi media. Memang benar, dalam proses belajar menulis puisi tidak serta-merta dituntut langsung membuat kredo puisi yang berbeda. Akan tetapi, paling tidak generasi muda haruslah memperkaya khasanah wawasan dan pengetahuan dengan mendalami berbagai literatur puisi untuk memperkaya puisi dan menghindarkannya dari keseragaman.
Selain itu, yang tidak kalah penting dari proses menulis adalah penghapusan stigma penyair yang umumnya diidentikkan sebagai --meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma-- ”manusia kamar”. Konsep eksistensi penyair harus diubah ke arah yang “positif”, dari penggila eksistensi tampil di media, menjadi eksis dan tampil untuk ikut serta mengambil bagian di masyarakat. Hal itu disebabkan penulis puisi yang baik seharusnya tidak mengurung diri dalam ekslusifitas komunitas dan sempitnya kamar kos. Penulis harus aktif dan terlibat langsung dengan pergulatan hidup masyarakat sehari-hari guna melakukan pendalaman dan penghayatan pada realitas. Bukankah dunia tidak hanya ada di dalam lembar-lembar antologi puisi, kamar kos sempit dan koran minggu? Bukankah puisi lebih dari sekedar “sekeranjang buah-buahan dan sayuran” yang disusun terstruktur menjadi bangunan puisi?
Puisi tidak sekadar dicetak rapi, ditulis, dan “diberangkatkan” untuk mengantre di media. Meskipun di satu sisi mengirim naskah ke media juga penting, yang harus diingat adalah seharusnya puisi lebih besar dari hal itu semua. Puisi tidak bisa dipisahkan dari saripati proses penghayatan atas realitas di masyarakat. Seperti yang dikatakan Rendra dalam sajak sebatang lisongnya, kita mesti keluar ke jalan raya|keluar ke desa-desa|mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang ada.
Sesungguhnya, ketika selesai menulis, penyair butuh waktu untuk mengendapkan karya-karya mereka. Mereka perlu memperbaiki di sana-sini dari segi teknis, daya ungkap, daya ledak, ritme, metafora, dan substansinya supaya puisi mampu menggambarkan realitas kekinian. Dengan adanya jeda waktu untuk “mengendapkan” karya, mungkin kita bisa menemukan relevansi dari kutipan pertanyaan sastra sebagai penjawab keresahan zaman dan mungkin bisa lebih dari hal itu. Sebagaimana Nelson Mandela yang mendapatkan kekuatan selama di penjara berkat membaca puisi. Tentunya, puisi yang dibaca Nelson Mandela bukan puisi-puisi seragam yang dibuat sepekan dua pekan.***