OLEH IMELDA YANCE

Bukan Lelang Jabatan

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:31 WIB

Setelah blusukan, satu lagi istilah (birokrasi) dipopulerkan oleh Pre­siden Joko Widodo, lelang ja­batan. Pada awalnya, lelang jabatan dimaksudkan Jokowi sebagai bentuk mekanisme pengisian jabatan birokrasi di lingkungan Pemerintahan DKI Jakarta. Tradisi ini sebetulnya sudah dimulai sebelum Jo­kowi, yaitu oleh Bupati Jem­brana, Bali Prof. I Gede Winasa dan Walikota Samarinda Syah­arie Ja’ang dalam pengisian jabatan eselon II, III, dan IV pada pemerintahan mereka masing-masing. Namun, lebih bergema di tangan Jokowi (ber­kat media massa juga tentunya) saat merekrut camat dan lurah di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta dan berlanjut saat beliau menjabat orang no. 1 di negeri ini.

Seperti biasa, perteling­kahan pun mewarnai me­ka­nisme yang dianggap barang baru tetapi stok lama (‘oude wijn in niewe zakken’ [bahasa Belanda]) ini (karena sebelumnya sudah ada uji kelayakan dan kepatutan [fit and proper test] dan seleksi melalui Tim Baperjakat). Bagi yang setuju, mekanisme ini dianggap mampu melahirkan para pejabat yang berkom­petensi dan berkapabilitas se­suai jabatan yang diem­bannya; memutus mekanisme selama ini yang dianggap kurang ob­jektif (Nasution, 2015); serta menekan potensi korupsi, ko­lusi, dan nepotisme (So­lichin dalam Republika, 2015).

Bagi yang tidak setuju, a­walnya cara itu dianggap tidak memiliki landasan hukum; meng­hapus promosi ber­dasarkan sistem pem­binaan karir (penghargaan atas pres­tasi berkelanjutan); dicurigai akan adanya campur tangan kekuasaan, serta “banci (dia­ng­gap menguntungkan perem­puan dan minoritas/me­langgar prinsip tidak mem­bedakan ras, agama, jenis ke­lamin, dan golongan). “Ke­bancian” ini terungkap dari kompetisi antara Susan dan Bambang Muhadi saat pe­mi­lihan Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan (yang dime­nangi Lurah Susan) 2013 silam (Aziz dalam Kompasiana, 20­15).

Apapun komentar masya­rakat, proses perekrutan pe­jabat birokrasi melalui lelang jabatan terus berlanjut. Terbukti, Menteri Pem­ber­dayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Yuddy Chrisnandi berujar: “semua kepala daerah tanpa terkecuali, wajib melak­sa­na­kan lelang jabatan tingkat ese­lon I dan II secara ter­bu­ka”(Republika.co.id, 2015). Beliau menjawab keraguan akan landasan hukum lelang ja­batan dengan menge­te­ngahkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) sebagai jawabannya. Lalu apalagi?

Terlepas dari kontroversi mekanisme lelang jabatan itu, persoalan bahasa pun terusik. Istilah lelang jabatan dibentuk dari kata lelang dan jabatan. Lelang dapat diartikan sebagai “penjualan di hadapan orang banyak (dng tawaran yg atas-mengatasi) dipimpin oleh pe­jabat lelang” (KBBI,  2008). Dalam bahasa Inggris, lelang disebut auction yang berarti proses jual beli barang atau jasa dengan tawaran atas-me­ngatasi, dan menjualnya kepada penawar tertinggi (“An auction is a process of buying and selling goods or services by offering them up for bid, taking bids, and then selling the item to the highest bidder [Wi­ki­pedia.org]).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook