Setelah blusukan, satu lagi istilah (birokrasi) dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo, lelang jabatan. Pada awalnya, lelang jabatan dimaksudkan Jokowi sebagai bentuk mekanisme pengisian jabatan birokrasi di lingkungan Pemerintahan DKI Jakarta. Tradisi ini sebetulnya sudah dimulai sebelum Jokowi, yaitu oleh Bupati Jembrana, Bali Prof. I Gede Winasa dan Walikota Samarinda Syaharie Ja’ang dalam pengisian jabatan eselon II, III, dan IV pada pemerintahan mereka masing-masing. Namun, lebih bergema di tangan Jokowi (berkat media massa juga tentunya) saat merekrut camat dan lurah di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta dan berlanjut saat beliau menjabat orang no. 1 di negeri ini.
Seperti biasa, pertelingkahan pun mewarnai mekanisme yang dianggap barang baru tetapi stok lama (‘oude wijn in niewe zakken’ [bahasa Belanda]) ini (karena sebelumnya sudah ada uji kelayakan dan kepatutan [fit and proper test] dan seleksi melalui Tim Baperjakat). Bagi yang setuju, mekanisme ini dianggap mampu melahirkan para pejabat yang berkompetensi dan berkapabilitas sesuai jabatan yang diembannya; memutus mekanisme selama ini yang dianggap kurang objektif (Nasution, 2015); serta menekan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (Solichin dalam Republika, 2015).
Bagi yang tidak setuju, awalnya cara itu dianggap tidak memiliki landasan hukum; menghapus promosi berdasarkan sistem pembinaan karir (penghargaan atas prestasi berkelanjutan); dicurigai akan adanya campur tangan kekuasaan, serta “banci (dianggap menguntungkan perempuan dan minoritas/melanggar prinsip tidak membedakan ras, agama, jenis kelamin, dan golongan). “Kebancian” ini terungkap dari kompetisi antara Susan dan Bambang Muhadi saat pemilihan Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan (yang dimenangi Lurah Susan) 2013 silam (Aziz dalam Kompasiana, 2015).
Apapun komentar masyarakat, proses perekrutan pejabat birokrasi melalui lelang jabatan terus berlanjut. Terbukti, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Yuddy Chrisnandi berujar: “semua kepala daerah tanpa terkecuali, wajib melaksanakan lelang jabatan tingkat eselon I dan II secara terbuka”(Republika.co.id, 2015). Beliau menjawab keraguan akan landasan hukum lelang jabatan dengan mengetengahkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) sebagai jawabannya. Lalu apalagi?
Terlepas dari kontroversi mekanisme lelang jabatan itu, persoalan bahasa pun terusik. Istilah lelang jabatan dibentuk dari kata lelang dan jabatan. Lelang dapat diartikan sebagai “penjualan di hadapan orang banyak (dng tawaran yg atas-mengatasi) dipimpin oleh pejabat lelang” (KBBI, 2008). Dalam bahasa Inggris, lelang disebut auction yang berarti proses jual beli barang atau jasa dengan tawaran atas-mengatasi, dan menjualnya kepada penawar tertinggi (“An auction is a process of buying and selling goods or services by offering them up for bid, taking bids, and then selling the item to the highest bidder [Wikipedia.org]).