OLEH ILHAM FAUZI

Tarian Malam

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 01:00 WIB

Tarian Malam

Senja menyerah. Malam merekah. Orang-orang asing melepas lelah. Ulah dibuat terserah. Abai akan tingkah di rimba bertuah. Pohon dibabat sudah. Terpasang senyum culas di balik lidah. Sebuah seringaian menyembul liar. Api menyebar. Rimba terbakar. Asap menguar.

***

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Aku tidak suka menari. Bagiku mengiringi bapak menari dengan menabuh bebano1 sudah cukup. Tapi bapak tidak ingin kemampuanku hanya sebatas menabuh bebano. Bapak menginginkan lebih. Ia ingin aku seperti dirinya kelak. Menjadi bomo2, menarikan tarian malam, lalu mulut melafazkan syair kuno yang tak kumengerti artinya.

Bapakku seorang bomo. Bapak yang menyembuhkan anggota suku yang terserang penyakit berat atau mencari jalan keluar dari bala yang datang tak diduga di suku kami, suku Sakai3. Penyembuhan tersebut dilakoni bapak melalui ritual tari olang-olang4. Bapak akan menari diiringi bunyi bebano yang tidak boleh berhenti sembari mulut bapak merapal syair-syair kuno. Setelah ritual pembukaan dianggap afdol, maka diri bapak akan kerasukan ruh soli5 dan dari ruh soli itu bapak mendapat petunjuk atas penyakit atau bala yang tengah dihadapi suku.

Ritual itu selalu dilakukan bapak di malam hari. Beberapa tahun belakangan ini akulah yang menemani bapak dalam proses pengobatan itu. Aku bertanggung jawab membunyikan bebano selama bapak menari olang-olang. Selama bapak melakukan tarian, aku tidak boleh sedikitpun menghentikan tabuhanku pada bebano. Dan bagiku, cukup peranku menabuh bebano saja. Tidak menari, tidak merapal mantra-mantra aneh yang tak kutahu dari mana bapak dapatkan itu. Karena kekerasan hati itu pulalah hingga sampai sekarang aku tetap tidak bisa menjiwai gerakan-gerakan tari olang-olang.

“Dikau anak keturunan bomo. Tak boleh tidak untuk menolak. Tak boleh untuk tidak bisa. Sampai itu terjadi, tak akan selamat anak cucu kau sampai ke bawah.”

Entahlah, aku berharap nanti pada suatu saat, malam memberiku keajaiban hingga dapat memenuhi apa yang bapak ingini. Menarikan tarian olang-olang, tarian malam.

***

Malam adalah penghidupan bagi bapak. Malam memberikan secercah harapan bahwa kami masih dapat terus hidup melalui nafkah yang diperoleh bapak sebagai seorang bomo. Di malam ketika bapak mendapat tugas untuk melakukan ritual, tiap itu pula tanganku semakin terlatih menabuh bebano. Mengiringi tarian olang-olang yang dibawakan bapak. Aku paham bahwa seorang penabuh bebano harus menanamkan beberapa hal di dalam hatinya. Dia harus menyatukan perasaannya dengan malam, menabuh bebano dengan segenap jiwa, dan yang terpenting harus kuat menahan godaan apapun agar tabuhan bebano tidak pernah berhenti sedikitpun. Namun untuk menari, sampai saat ini hatiku belum terbuka. Sehingga setiap aku lakukan, menari tidak menyatu bersama jiwaku.

Bapak akan memaksaku mengikuti latihan di malam hari ketika bapak luang dari pekerjaannya menari olang-olang. Aku kini tengah menginjak usia menjadi anak lelaki dewasa, anak kebanggaan bapak. Maka oleh sebab itu pula bapak merasa aku sudah saatnya mendalami ilmunya menjadi bomo. Tapi entahlah, bila tubuhku mengikuti gerakan yang dilakukan bapak, anggota tubuhku menolak. Dan malam ini, entah sudah malam keberapa aku mengikuti latihan bersama bapak. Tidak ada kemajuan yang terlihat pada diriku, dan aku yakin bapak pasti menyimpan kekecewaan. Aku mengikuti gerakan bapak yang bergerak perlahan-lahan, berjongkok, lalu berputar tanpa rasa, tanpa irama.

Bapak menatapku sesaat. Guratan yang sama ditunjukkannya ketika tidak puas melihat kemajuanku dalam menari. Mata bapak sesaat menengadah menatap langit. Aku memperhatikan apa yang tengah dilakukan bapak. Bapak kemudian berkeliling ke segala penjuru sambil memperhatikan alam. Aku merasakan desir angin yang bertiup agak kencang dan bau yang masih samar. Ikut kutengadahkan muka menghadap langit malam. Bintang-bintang tampak bertaburan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook