PAMERAN SENI RUPA DI GALERI HANG NADIM

Potret Ketidakseimbangan dalam Seni Rupa

Seni Budaya | Minggu, 02 Oktober 2022 - 11:27 WIB

Potret Ketidakseimbangan dalam Seni Rupa
Kurator Fahrozi Amri, di depan lukisan Kodri Johan berjudul Berserah Diri, yang dipamerkan di Galeri Hang Nadim Pekanbaru, Kawasan Purna MTQ, Senin (26/9/2022). (HARY B KORIUN/RIAU POS)

Ditambahkan Fachrozi, konsep ketidakseimbangan ini  juga muara dari terciptanya sebuah “amanat visual” dari kreator tentang bagaimana bentuk telah dipanggil secara ekpresi oleh pancaindra dalam melihat hubungan kebudayaan, sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan lingkungan sebagai benang merah dari relasi yang ingin disampaikan, yang tidak akan berkesudahan.

Ada kepastian di dalam elemen-elemen karya seni yang ditampilkan dalam pameran ini, sedangkan karya seni adalah produk yang mamaksa seseorang untuk masuk pada Answering the Emotional Calls atau menjawab panggilan-panggilan ekspresi dari seniman, sehingga akan dapat memberikan dampak kesan kesemuan semata untuk memuaskan hasrat dan labil dalam melihat hubungan tersebut.


“Bias. Jadi kedangkalan dalam memandang proyeksi seni, telah terpancarkan ke dalam seni itu sendiri, dan telah mengubah visual menjadi alat penghasut atau wahana pemikat dari fakta artistik, bahwa dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja,” jelas pengajar ilmu komunikasi di beberapa perguruan tinggi di Riau, termasuk di Universitas Riau (Unri) dan Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Konsep-konsep ketidakseimbangan ini terlihat dari karya-karya yang dipamerkan.  Cak Winda misalnya, dalam karyanya berjudul Apple Effect, berbicara tentang kemajuan teknologi menciptakan dampak yang cukup besar terhadap manusia, baik itu ekonomi, sosial maupun budaya. Namun kemudian muncul pertanyaan, apakah teknologi itu mengantarkan kita pada keseimbangan hidup? Atau malah memberi beban bagian sisi lain kita sehingga menyebabkan adanya ketidakseimbangan. Dalam karya ini dia ingin cerita tentang semangat, kekuatan,dan harapan yang diberikan oleh sebuah brand terkenal, Apple. Sebuah ilustrasi nyata bahwa Apple sebagai brand teknologi terpopuler menciptakan harapan melalui sebuah teknologi genggam.

“Apakah harapan ini adalah sebuah keseimbangan? Mungkin bagi sebagian orang iya, hingga mereka rela bekerja dengan penuh kekuatan yang mungkin saja menyebabkan ketidakseimbangan. Bekerja keras, menabung, berhemat, rela mengantri lama hanya demi Apple. Ini semua adalah kekuatan, yang tanpa Apple kekuatan itu dianggap tidak ada. Pertanyaannya lagi, apakah ketidakseimbangan itu adalah kekuatan? Mungkin ini bisa jadi kesimpulan atas pertanyaan-pertayaan saya yang tidak perlu jawaban. Ketidakseimbangan memaksa kita bergerak terus menuju keseimbangan,” ujar Cak Winda dalam penjelasan atas karyanya.

Ketidakseimbangan juga bisa dilihat dari karya Kodri Johan yang relijius, berjudul Berserah Diri. Kodri yang menggunakan medium aclyric on canvas, melukis tentang lima bulu unggas yang seolah beterbangan tak tentu arah dibawa angin, namun seolah secara bersamaan jatuh pada tumpukan beberapa daun yang mengering berwarna coklat –yang mungkin juga dibawa angin entah ke mana dan kebetulan jatuh di tempat yang sama— membentuk kata “Allah” dalam huruf Arab. Kodri seolah ingin menyampaikan bahwa dalam hidup, kita tak tahu akan seperti apa dan bagaimana seperti daun-daun dan bulu-bulu yang dibawa angin tersebut. Namun kemudian takdir membawa pada satu titik pertemuan tersebut. Takdir dan nasib kehidupan semuanya berada di tangan Tuhan, Allah, meski bagaimanapun kita bekerja keras untuk mengubah dan melawannya. Meski ini sangat relijius, tetapi di situ muncul ketidakseimbangan yang tak bisa dilawan: relasi antara pencipta dan yang diciptakannya.

Salah satu karya Eko Fazra, Perempuan, seolah ingin mengungkapkan tentang misteri perempuan di zaman apa pun. Seperti halnya Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci yang terus dicari maknanya, lukisan perempuan dalam karya Eko juga sebuah anomali. Kata Eko, “Dengan gelombang kecantikan yang terkadang sangat susah ditebak arah dan alur warna sifatnya, akan tetapi sangat indah untuk dinikmati serta dirasakan.”

 Eko ingin menjelaskan begini: betapa misteriusnya perempuan. Keindahan yang terlihat kasat mata, kadang bertolak belakang dengan sifat yang tak kasat mata. Perempuan memang selalu menjadi sumber keindahan, tetapi harus hati-hati memaknainya, juga menghadapinya dalam dunia nyata. Ketidakseimbangan ini sudah muncul sejak Adam harus keluar dari surga karena hasutan iblis, yang kemudian memisahkannya dengan Hawa. Kemudian ratusan tahun mereka saling mencari dalam kehidupan di dunia ini.                                  ***

GHN didirikan pada 19 Januari 2020 atas inisiatif para perupa lintas komunitas seperti Gerakan Perupa Melayu, Bangsal Seni Kita, Sikari, Begawai Institut, Perkumpulan Kaligrafi dan Zukhrufah (Perkazi) Riau, dan Hobi Kayu. Secara personal, mereka yang berinisiatif dalam pendirian GHN antara lain Furqon LW, Benny Riaw, Jon Kobet, Eko Fazra dan yang lainnya. Para perupa seperti Kodri Johan, Rafles, Sharidan atau Fachrozi Amri kemudian masuk dan ikut menguatkan eksistensi GHN.

Menurut Furqon LW yang kini dipercaya sebagai Kepala GHN, tujuan didirikannya GHN adalah untuk mengkonkritkan azam lama para perupa tersebut, bahwa Riau sudah selayaknya memiliki galeri seni rupa yang representatif untuk pameran. Adanya galeri juga diharapkan menjadi ruang terjadinya jual-beli (pasar) karya seni rupa, ruang apresiasi, edukasi, maupun rekreasi seni bagi masyarakat. Jangka panjang, GHN diharapkan menjadi ruang preservasi dan konservasi karya seni rupa. 

“Secara umum, tujuan GHN tertuang dalam visinya, yaitu memajukan seni rupa Melayu di Riau,” kata Furqon saat dihubungi pada Kamis (29/9/2022).

Pameran Ketidakseimbangan ini, kata dia,  merupakan pameran ke-6 yang ditaja di GHN. Sebelumnya sudah digelar pameran Rudraka 1, Rudraka 2, Komik Yong Dolah, dan Kaligrafi Kontemporer Riau. “Pameran sporadis ini merupakan respon GHN terhadap kondisi terkini kesenian di Riau. Dalam kondisi ekosistem yang tidak atau belum ideal, seni perlu mencari keseimbangan baru. GHN melontarkan tema ini dan seniman  meresponnya lewat karya,” tambah Furqon yang juga seorang karikaturis ini.

Dijelaskan Furqon, keberadaan GHN dan pameran-pameran yang sudah dilakukan selama ini, bukanlah soal kebanggaan atau berpuas diri, tetapi soal bagaimana membangun sebuah kolaborasi manajerial dari pelaku seni lintas komunitas yang sebelumnya belum dipikirkan, belum ada, dan kemudian mulai terbangun dengan baik.

“Ketika keane­ka­ra­gaman latar belakang percabangan seni (rupa) ini bersenyawa menjadi sebuah azam untuk mendirikan galeri, ianya menjadi modal yang teramat berharga. Saya yakin dengan modal ini, pelan-pelan, sedikit demi sedikit,  GHN akan mengukuhkan eksistensinya. Bukan tak mungkin pula bertahap mewujudkan fungsi ideal galeri sebagai wahana preservasi dan konservasi karya-karya seni rupa,” jelasnya lagi.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Eko Fazra, salah seorang pendiri GHN yang juga salah satu peserta Pameran Ketidakseimbangan ini. Menurutnya, salah satu tujuan didirikannya GHN adalah berperan aktif dalam membangun ekosistem seni, khususnya di Riau, yang diharapkan galeri ini mempunyai kualitas yang baik dan sebagai wadah berkesenian yang mengangkat kearifan lokal serta tidak menutup diri dari karya karya kotemporer yang sesuai dengan nilai dan norma yang ada.

Pameran Ketidakseimbangan ini, kata Eko,  dilaksanakan sebagai respon para seniman melihat antusias masyarakat Pekanbaru dalam mengapresiasi karya seni. Konsep dan kerangka berpikir tema pameran sudah pasti ditentukan oleh kurator. 

“Semoga pameran karya seni ini terus berlanjut dengan peningkatan kualitas, dan masyarakat Pekanbaru teredukasi dengan karya-karya yang berkualitas dan mudah-mudahan terbangun ekosistem seni, khususnya seni rupa, serta karya yang ada layak untuk dikoleksi oleh para kolektor,” jelas Eko.

Menjadikan GHN sebagai pasar seni rupa, kata sang kurator,  Fachrozi, bukan hal yang mudah. Harus benar-benar dimulai pelan-pelan. Para pengunjung yang kebanyakan berasal dari kalangan yang mungkin tidak memahami seni rupa, harus diedukasi sedemikian rupa agar bisa menjadi seorang apresiator. Setelah itu, edukasi harus terus dilanjutkan agar bagaimana sang apresiator ini suatu saat nanti akan menjadi seorang kolektor. Selama ini pihaknya menyebar undangan ke berbagai lembaga pendirikan seperti sekolah atau universitas. 

Dia bersyukur ada respon yang baik ketika siswa-siswi sekolah seperti Darma Yudha dan Dharma Loka, atau para mahasiswa dari  Umri, Unilak, Universitas Islam Riau (UIR) dan UIN Sultan Syarif Kasim, datang dan menyaksikan pameran ini. Padahal mereka harus membeli karcis, dan kadang masuknya harus antri, bergantian, tetapi antusiasme mereka begitu tinggi. 

“Yang kami bangun di awal-awal ini adalah apresiasi masyarakat terhadap seni rupa. Menjual karcis masuk, adalah bentuk edukasi tersebut, yakni bagaimana agar masyarakat juga menganggap seni rupa itu sebagai produk yang harus dihargai, termasuk dengan membayar. Semoga edukasi seperti ini berhasil dan di masa depan Galeri Hang Nadim terus berkembang. Jika itu terjadi, efeknya juga akan positif bagi para seniman,” jelas Fachrozi.

Pameran ini, kata Fachrozi, diperpanjang hingga 3 Oktober 2022. Hal ini dilakukan karena minat penikmat seni rupa masih antusias bersempena dengan Kenduri Riau 2022 yang sedang berlangsung.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook