Secercah cahaya dimunculkan dari masih gelapnya sejarah Candi Muara Takus. Sebuah lukisan dari serbuk kopi dibuat sebagai jawaban atas klaim pusat kerajaan Sriwijaya di Bumi Lancang Kuning.
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru
NUR Halim, seorang pelajar mendapati suara raungan gajah yang bersahut-sahutan di Lembah Koto Panjang, Kabupaten Kampar yang baru pertama kali dikunjunginya seumur hidup. Merantau ratusan kilometer dari pantai timur ke pedalaman yang berada di ‘pusat’ Pulau Sumatera untuk memperdalam ilmu agama Islam, pemandangan gajah-gajah itu adalah pengalaman yang benar-benar baru baginya.
Nur baru saja tiba ketika hari mulai gelap di pusat peradaban Lembah Koto Panjang, Desa Batu Bersurat lama. Bila ditarik garis lurus, berada di sebelah timur dengan jarak sekitar 11 km dari Komplek Candi Muara Takus. Remaja ini menyusuri jalan beraspal kasar yang mengikuti arah aliran Sungai Kampar untuk mencapai Darussalam, salah satu pondok pesantren ternama di tanah Kampar.
Kala itu adalah tahun 1994 ketika gajah-gajah liar di lembah yang terbentang puluhan kilometer sampai ke bibir Bukit Barisan itu akan direlokasi. Ini merupakan peristiwa besar, di mana lembah itu akan ditenggelamkan demi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atas alasan kesinambungan energi.
Suara melengking mamalia raksasa dengan belalai itu berasal dari gajah-gajah betina jinak yang digunakan untuk memancing gajah jantan utama yang hidup liar di hutan rimba lebat beberapa belas kilometer dari pemukiman di lembah tersebut. Mereka semua akan dipindahkan sebelum kampung lama Batu Bersurat dan beberapa desa lainnya itu lenyap.
Cuplikan peristiwa itu menggambarkan bagaimana gajah selalu menjadi bagian penting dari peradaban manusia di Kampar. Hal itu juga tergambar dalam lukisan yang terbuat dari serbuk kopi karya seniman Riau asal Kampar, Latief Hasyim.
Lukisan ini memperlihatkan bagaimana gajah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan sejak abad ke-7, yang menurut sejumlah literatur sebagai abad di mana sebuah peradaban tua, maju pesat dengan pusatnya di Kompleks Candi Muara Takus sekarang.
Lukisan yang diselesaikan Latief pada 2021 lalu itu menggambarkan diorama pusat kebudayaan Melayu kuno yang Muara Takus sentris. Yang dipadukan beranda ‘Laut Embun’ yang sibuk dengan perlintasan kapal. Ada lebih dari setengah lusin gajah, beberapa di antaranya menarik gerobak, yang dilukis Latief.
Lukisan yang menjadi bagian dari Pameran Seni Rupa MasteRiau yang ditaja Galeri Hang Nadim di Anjungan Kampar, Bandar Serai Pekanbaru tersebut memang baru sekitar dua tahun lalu dibuat. Namun menurut Latief, itu merupakan hasil pengumpulan serpihan sejarah puluhan tahun tanpa henti yang ia lakukan hingga lukisan itu dibuat.
‘’Ini merupakan hasil riset saya puluhan tahun dari berbagai literatur asing dari Tiongkok hingga Tibet yang coba saya tuangkan dalam lukisan. Saya rencanakan dua hari dan saya selesaikan dalam dua hari. Total empat hari untuk melukis hasil riset lebih dari 30 tahun,’’ ungkap Latief yang hadir langsung pada pembukaan pameran, Sabtu (12/8).
Kurator pameran yang akan berlangsung pada 13-31 Agustus 2023 ini, Fachrozi Amri, punya pandangan ringkas pada karya seniman terkemuka dari Kampar itu. Lukisan itu menurutnya gabungan puzzle sejarah yang berhasil digambarkan secara aestetik oleh pelukisnya.
‘’Seperti pemetaan catatan yang kalau dilihat seperti pembacaan, rekaan ulang atau rekontruksi atas sejarah masa lalu yang diperkirakan dimulai pada Abad ke-7 Masehi di Kampar. Layaknya mozaik atau puzzle sejarah hasil risetnya yang coba dia rangkum dalam konteks karya visual,’’ ungkap Fachrozi.
Lukisan Diorama Muara Takus menampilkan sibuknya aktivitas peradaban kota pinggir sungai di pedalaman Sumatera. Lengkap dengan berbagai bangunan lintas abad. Lengkap dengan sejumlah kapal layar. Hingga disebutkan Fachrozi layak juga disebut sebagai lini masa hasil dari penyelaman literasi sejarah oleh Latief Hasyim selama puluhan tahun.
Walaupun tanpa warna, lukisan itu sendiri begitu indah untuk sebuah karya yang digores lewat tinta dari serbuk kopi. Bahkan anggota DPRD Riau Edy Mohd Yatim yang membuka pameran harus mencium lukisan itu untuk meyakinkan dirinya. Edy merasa terhormat membuka pameran itu dan berharap ada dukungan lebih serius dari pemerintah untuk pameran sejenis di masa mendatang.
‘’Ke depan, saya berharap upaya Galeri Hang Nadim membentang asa dalam ‘sunyi’ ini bisa mengusik Pemerintah Provinsi Riau untuk memberi perhatian khusus ke seni dan budaya, terkhusus bidang seni rupa di Riau,’’ ungkap Ketua Komisi I DPRD Provinsi Riau ini.
Lukisan itu satu dari puluhan lukisan karya masterpiece para perintis dan ikon seni rupa di Riau. Jika karya Latief mewakili karya berusia muda karena dibuat pada 2021, lukisan Sultan Syarif Kasim II tahun 1979 karya almarhum Tennas Effendi dan lukisan pemukiman tepi sungai karya OK Nizami Jamil tahun 1962 mewakili yang tertua.
Selain dua nama itu, karya yang ditampilkan termasuk karya-karya hebat dari seniman kawakan asal Riau. Mulai dari Amrun Salmon, Armawi KH, Aswan R, Dahlan Magek, Dantje S Moeis, Emmy Kadir, Iwan Dona hingga Mirza Adrianus.
‘’Mereka ini perintis seni rupa Riau, bisa kita bilang maestro. Malam ini (pembukaan, red) beberapa bisa hadir, beberapa diwakilkan pihak keluarga karena telah mendahului kita,’’ sambung Fachrozi terkait nama-nama besar itu.
Sementara itu, ko-kurator pameran Syamyatmoko menyebutkan, MasteRiau yang menjadi tajuk pameran mengarah pada makna orang-orang yang lebih dahulu menjejaki seni rupa di Riau. Khususnya bagi mereka yang konsisten berada dalam ranah penciptaan produk rupa.
‘’Mereka adalah seniman yang konsisten yang secara kuantitas persona jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Begitu juga catatan data peristiwa dan aktivitas mereka juga sangat minim. Sehingga momentum untuk membangun ideologi dan kerangka fikir berkesenian tidak pernah di wacanakan secara serius. Wajar saja jika kultur dan peradapan rupa yang ideal tidak pernah terealisasi di Riau bahkan sampai saat ini,’’ kata Syamyatmoko.
Maka lewat pameran ini, dengan subtema ‘Menyongsong Masa Depan Baru’ bisa menjadi inspirasi bagi peseni rupa generasi baru untuk menerus semangat merekam.
Sementara itu, Kepala Galeri Hang Nadim Furqon Elwe saat pembukaan menyebutkan, MasteRiau merupakan agenda keempat dari tujuh agenda yang mereka wacanakan tahun ini. Total galeri yang baru berdiri pada 19 Januari 2021 ini telah menggelar 12 pameran.
Berbeda dengan 12 pameran sebelumnya, alas karsa pameran MasteRiau, ‘Menyongsong Masa Depan Baru’ menurut Furqon adalah semangat untuk menghimpun referensi dari pelaku sejarah seni rupa di Riau. Adapun karya-karya yang dipamerkan dalam kurun waktu sejak tahun 1962 hingga 2023 menjadi semacam lini masa mini dari masing-masing perupa dengan berbagai corak alirannya.
‘’Kami berharap publik umum maupun seniman menuai inspirasi dari peristiwa seni rupa ini,’’ ungkap Furqon.
Untuk menikmati semua seni rupa ini, masyarakat hanya perlu merogoh uang setara nilai 1 liter minyak pertalite di SPBU resmi. Pameran dibuka sejak pukul 9.00 WIB pagi hingga malam, setiap hari hingga 31 Agustus 2023.(das)