PERISA YUSMAR YUSUF

Pun, Bumi

Seni Budaya | Minggu, 13 Maret 2016 - 00:05 WIB

Tuhan bercanda bulan di siang hari; jadi gerhana. Matahari tersipu. Sebuah teater kosmis serba maha. Tak selaksa, cuma hitungan menit suguhan itu berlangsung. Candaan dan gurauan itu sejatinya dalam pandangan tasawuf adalah bagian dari tajalli (emanasi) Tuhan sekaligus cermin Tuhan tentang diri Nya. Kita menyaksi teater kosmis itu dari mana? Dari bumi. Dan, dari bumi pula kita menyibak serangkaian “penjelmaan” (tajalli) Tuhan dalam ragam bentuk; sebenarnya bayang-bayang. Bayang-bayang baru bisa menjelma, ketika dia jatuh di atas bidang atau ruang. Tanpa ruang, bayang-bayang tiada. Dan bayang-bayang tetap setia dengan wujudnya yang legam, tak berwarna. Pohon yang rimbun berdaun hijau, ketika dia menjadi bayang-bayang, warna hijau sirna. Legam menjelma. Manusia yang mengena busana warna-warni, tetap memiliki bayang-bayang yang legam, nir-warna. Bayang-bayang itu jatuh di atas ruang bernama bumi.

Tuhan bergurau dengan bulan, matahari pun menggerhana. Semua persaksian langka itu; dia tak bisa diteroka dari langit, namun jelas dan amat romantik bila ditatap dari muka bumi. Mulla Shadra mengumpamakan bumi adalah ibu, bunda, inang, pertiwi yang memberi kasih sayang yang luar biasa kepada manusia, melebihi kasih ibu dari jenis manusia. Dari bumilah lahir bapak-bapak dan ibu-ibu manusia. Malaikat bukan penghuni bumi, mereka penghuni (di) langit. Sesekali mereka turun ke bumi membawa misi langit yang tenang, langit yang damai, langit yang monoton, kaku dan serba patuh. Langit adalah medan patuh, domain supra-human, negeri cahaya, ranah dzikir, ranah doa dan munajat yang menderu tiada jeda.


Dalam sulingan Ibn Arabi, “bumi adalah makhluk yang diciptakan dari ‘kemurkaan yang murni’. Bumi adalah alam bawah. Secara menyeluruh alam bawah adalah entitas yang diwujudkan dari “kemurkaan murni”. Di sini bumi merupakan "penampakan" (tajalli) sifat al-jalal (gagah, brave; tampan). Sebaliknya, sebagai bandingannya adalah alam atas, termasuk langit, merupakan entitas yang maujud dari rahmat atau belas kasih murni dan tulus. Di sini alam atas merupakan penampakan sifat al-jamal (juwita, menawan). Di sini muncul perdebatan mengenai keutaman langit atau bumi. Ada yang menyebut bahwa yang utama itu adalah langit. Bumi itu tak lebih dari pusat gaduh, gudang kecoh, auditorium mabuk. Sebaliknya langit adalah “negeri tata”; langit merupakan lokus peribadatan para malaikat secata khaffah (total), tanpa secuil kemaksiatan. Tuhan selalu mendahului firman-firmanNya dengan menyunting kalimat ‘langit’ yang diikuti kalimat ‘bumi’; Demi bintang, yang kemudian diikuti demi gunung-gunung. Jika dibungkus dalam model variat, maka langit adalah “variabel” mempengaruhi, sementara bumi adalah “variabel” dipengaruhi (atau variabel bebas dan variabel terikat).

Di sini, kemuliaan menyeruak pada entitas mempengaruhi, berbanding entitas dipengaruhi. Bumi sebagai variabel, memiliki indikator utama bernama tanah; di atas tanah segala kotoran, ludah, ingus, dahak, najis manusia, najis hewan, kencing, nanah, sampah-sarap, limbah, kapar dan segala bengkalai sampai pertumpahan darah karena perang dan peristiwa sadistis antara manusia dan atau pun hewan, berserak. Di atas tanah pula terjadi perselingkuhan nafsu birahi, penyerakan sperma, kemaksiatan merajalela, ketamakan, haloba, kerakusan dan mabuk kuasa. Waww… slla deretkan lagi senarai yang sejenis. Seakan tiada yang mulia dari bumi.

Nah, Mulla Shadra menukil indah-jeluk tentang kenyataan bumi bagi manusia. Dia laksana ibu yang menyusui dan memberi makan seluruh umat manusia. Malah, bumi berfungsi melebih ibu: “dia malah melebih kasih dan sayangnya ibu kepada kita. Ibu menyayangi hanya dengan menyusui, sementara bumi menyuapimu dengan segala jenis makanan dan minuman”. Perbandingan temporal manusia dalam kandungan ibu hanya sembilan bulan. Namun kita berada di atas bumi bisa mencapai usia 90 tahun, jauh lebih lama berbanding dalam kandungan. Dalam kandungan, manusia tak kenal haus dan dahaga, namun masa inapnya hanya sebentar. Manusia keluar dari kandungan ibu didahului dengan keluarnya kepala ke muka bumi. Ihwal ini menyiratkan dimensi kepasrahan kepada Tuhan. Oleh sebab itu Mulla Shadra menganalogikan bahwa bumi sebagai “al-umm al-kubra” (induk agung), sedangkan ibu –perempuan- sebagai “al-umm al-sughra” (induk comel). Di atas bumi pula, Tuhan mengguyur berkah lewat para nabi, yang memberi suluh bijak bestari, tempat berlabuh bahtera di teluk nan teduh, tempat rumah Allah pertama kali dibangun (Ka’bah), tempat Tuhan menumbuhkan segala jenis tumbuhan dan segala keberkahan bagi manusia. Bumi adalah kado utama bagi manusia. Kosmos semesta ini laksana rangka ragawi, namun nyawa dan ruh atau jantung dari rangka ragawi kosmos itu adalah manusia. Tanpa manusia, ragawi kosmos itu tak lebih dari bangkai mayat medan kosmos.


Baca Juga : Mencekam Lagi









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook