Cuplikan puisi James Joyes di atas, menyindir ihwal itu. Bertolt Brech, di Jerman, yang mengalami langsung Bibliocaust (jutaan buku dihancurkan oleh rezim Hitler) sepanjang Mei 1933, menulis puisi berjudul “Pembakaran Buku”; “Bakarlah aku!/Tulisnya dengan pena yang amarah/Bakarlah aku!/Jangan lakukan ini terhadap saya/Jangan nyisakan saya…” Dan demikianlah pula, kengerian serupa ini kerap diyakini memberikan efek yang lebih mengerikan setelahnya; “di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia,” (Heinrich Heine). Saat itu, Sigmund Freud bilang, “pada abad pertengahan mereka akan membakar saya. Sekarang membakar buku saya saja mereka sudah senang…”
Tentu saja, akan selalu lahir optimisme, bahwa buku-buku yang dibakar itu—sebagaimana juga ketika manusia dibakar—yang tereduksi tak semata kertas sebagai materi yang hancur dan berubah menjadi abu, akan tetapi “makna.” Makna, dari teks yang tertulis di dalam buku, akan tetap terurai, tidak turut hancur. Ia berkelana dalam memori pembaca. Tentu, terutama jika memang teks-teks itu “bernyawa.” Nama-nama penulisnya/pengarangnya, pun dengan begitu, tetap hidup. Bakarlah puisi-puisi Rendra atau Wiji Thukul, bakarlah juga karya-karya Pramoedya Ananta Toer, nama mereka tak bisa lenyap (dalam memori, dalam rasionalitas).
Tapi, terlepas dari itu semua, saya tetap sepakat dengan kata-kata yang kira-kira berbunyi begini, “membakar buku adalah kejahatan, tapi lebih jahat lagi kalau tidak membacanya.”***