SENGGANG MARHALIM ZAINI

Membakar

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:36 WIB

Cuplikan puisi James Jo­yes di atas, menyindir ihwal itu. Bertolt Brech, di Jerman, yang mengalami langsung Bibliocaust (jutaan buku dihancurkan oleh rezim Hit­ler) sepanjang Mei 1933, menulis puisi berjudul “Pe­m­bakaran Buku”; “Bakarlah aku!/Tulisnya dengan pena yang amarah/Bakarlah aku!/Jangan lakukan ini ter­ha­dap saya/Jangan nyisa­kan saya…” Dan demikian­lah pula, kengerian serupa ini kerap diyakini membe­rikan efek yang lebih me­nge­rikan setelahnya; “di ma­napun mereka mem­ba­kar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia,” (Heinrich Heine). Saat itu, Sigmund Freud bi­lang, “pada abad pertenga­han mereka akan memba­kar saya. Sekarang memba­kar buku saya saja mereka sudah senang…”

Tentu saja, akan selalu lahir optimisme, bahwa bu­ku-buku yang dibakar itu—sebagaimana juga ketika ma­nusia dibakar—yang tere­duksi tak semata kertas seba­gai materi yang hancur dan berubah menjadi abu, akan tetapi “makna.” Mak­na, dari teks yang tertulis di dalam buku, akan tetap te­rurai, tidak turut hancur. Ia berkelana dalam memori pembaca. Tentu, terutama jika memang teks-teks itu “bernyawa.” Na­ma-nama penulisnya/penga­rangnya, pun dengan begitu, tetap hidup. Bakarlah puisi-puisi Rendra atau Wiji Thukul, bakarlah juga karya-karya Pramoedya Ananta Toer, nama mereka tak bisa le­nyap (dalam memori, dalam rasionalitas).


Tapi, terlepas dari itu semua, saya tetap sepakat dengan kata-kata yang kira-kira berbunyi begini, “me­mbakar buku adalah kejaha­tan, tapi lebih jahat lagi ka­lau tidak membaca­nya.”***  

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook