“Who was it said: Resist not evil?
I’ll burn that book, so help me the devil,” (James Joyce).
ritual pergantian tahun, kerap identik dengan bakar-bakaran; kembang api, bakar ayam, bakar ikan, bakar jagung, dll. Begitu menyebut api, kita seperti diingatkan dengan berbagai ritual dalam tradisi agama-agama lama. Api (diyakini) mampu menyucikan. Api, adalah media/tangga naik ke dunia non-materi. Proses “pembakaran tubuh manusia” oleh api, dalam tradisi ngaben misalnya, tak lain adalah ritual “penyucian” itu. Bahwa, begitu terbakar, tubuh manusia akan tereduksi menjadi empat unsur pokok: karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen.
Yang terbakar, memang “hancur” tapi bukan “lenyap.” Yang terbakar, bermetamorfosis menjadi “yang lain.” Kiamat, yang juga (diyakini) ditandai dengan bunyi “terompet” sangkakala (oleh malaikat Isrofil) itu, adalah penghancuran, yang sekaligus menjadi pintu masuk ke “dunia lain.” Maka, “dunia yang hancur” itu bukan serta merta ditiadakan perannya, tapi justru sangat menentukan nasib seseorang dalam “kehidupan” yang lain. Dan inilah, sebuah reafirmasi ihwal “kesinambungan” itu.
Lalu, apa yang kita pikirkan soal “pembakaran buku” misalnya, yang justru (rupanya) memiliki sejarah panjang yang rumit. Kalau kita membaca buku karya Fernando Baez, seorang ahli buku dari Spanyol, berjudul Pengahancuran Buku dari Masa ke Masa, yang juga menulis La destruccion cultural de Iraq (yang membuat ia dinyatakan persona non grata oleh pihak berwenang Amerika), kita seperti tengah disuguhkan sebuah sejarah “hitam” bangsa-bangsa. Sejak masa zaman kuno hingga kini, tak henti-hentinya buku-buku dibakar, dihancurkan. Baik oleh sebab ideologis, mitos, perang, sampai sebab alamiah. Tentu, banyak orang menyumpah. Terutama para penulis, sastrawan, penyair: orang-orang yang memang merasakan betul bagaimana “perjuangan” memeras jerih dari keringat kreativitas.