Ketika muncul buku Ensiklopedi Sastra Riau,
misalnya (yang telah diluncurkan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau tahun
2011, dan akan segera diterbitkan pula edisi pengembangannya), maka kita
harus juga memaknainya sebagai sebuah upaya sedikit “mengobati” nasib
tak baik si pengarang itu. Selain itu, tak dapat dinafikan bahwa
kehadiran buku-buku sejenis ini adalah referensi penting bagi para
peneliti sastra. Studi tentang tokoh sastra pun, sudah sangat banyak
dilakukan para sejarawan bahkan sejak era Yunani Kuno.
Cukup
banyak, buku yang mencoba merekam jejak dunia kesusastraan kita di
Indonesia. Pamusuk Eneste saja setidaknya telah menyusun dua buku
sejenis, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000), dan Buku Pintar Sastra Indonesia (Kompas, 2001). Berikutnya Hasanuddin WS dengan buku Ensiklopedia Sastra Indonesia
(Titian Bandung, 2004). Jauh sebelumnya, di tahun 1989, seorang dosen
dari University of London, Ernest Ullich Krastz, juga telah menyusun Bibliografi Karya Sastra Indonesia, spesifikasi tentang naskah drama, prosa, dan puisi yang terbit di majalah di tahun 1920-1980.
Belum lagi yang ruang lingkupnya lebih kedaerahan, seperti Leksikon Sastra Jakarta, Leksikon Sastra Aceh, dan termasuklah di Riau, sebelum buku yang disusun oleh Balai Bahasa ini muncul, telah hadir buku Leksikon Sastra Riau
(Ed. Husnu Abadi dan M Badri). Apapun bentuk dan namanya, saya kira,
pencinta sastra Riau khususnya, patut menyambut baik berbagai upaya
untuk pengembangan dan pergerakan sastra di negeri ini.
Maka, selain karya yang dihasilkan pengarang, jejak-jejak yang dapat dicatat oleh publik adalah ihwal riwayat biografinya. Proses perjalanan kepenyairan/kepengarangan seseorang, sesungguhnya juga adalah jejak-jejak perjalanan puisi itu sendiri. Dan berbagai bentuk buku: kamus, leksikon, ensiklopedi, buku pintar, bibliografi, dan entah apa lagi namanya, adalah upaya merekam jejak-jejak itu.***