BETAPA pun pakar semiotika Roland Barthes (1915-1980)
menggemaungkan, “the death of the author,” saya yakin, kita masih sangat
percaya bahwa sosok sastrawan (pengarang) tak dapat dengan mudah
“terpisah” dengan karyanya. Dan tentu, kita juga tahu bahwa Roland
Barthes memang tidak sedang hendak “memisahkan” keduanya, meski dia
menandaskan tentang “matinya seorang pengarang.”
Makna kematian di sini, bukan berarti nama si pengarang serta merta terhapus dari karyanya, menjadi anonim nasibnya, akan tetapi ini soal “makna” yang menguar dari teks karyanya itu. Di titik ini, si pengarang tidak lagi punya “kekuatan” untuk menjangkau makna akhir dari (teks) karyanya. Tak ada otoritas tunggal. Begitu sampai ke tangan pembaca, teks seperti liar tak terkendali, dan “tanda-tanda” bertebaran, memproduksi makna-makna baru. Maka, jika begitu, bukankah yang “hidup” dan terus “lahir” adalah para pembaca?
Lalu, apa kabar si pengarang? Ya, mestinya dia
tetap sebagai pengarang, yang terus bekerja melahirkan teks yang baru.
Teks yang juga kelak, setelah lahir, akan menempuh perjalanan nasib yang
sama. Apakah kemudian teks itu akan diterima dan tumbuh dalam dunia
permaknaan pembaca yang beragam dan luas, serta menuai populeritas
tersebab berbagai faktor yang membesarkannya, atau ia tersudut di
ruang-ruang sunyi dan kehilangan daya hidupnya, tentu kita serahkan saja
pada waktu.
Yang pasti, pengarang tak boleh berhenti dan
menyerah oleh “nasib tak baik” yang menimpa karyanya, juga “nasib tak
baik” yang juga kerap menimpa diri si pengarang sendiri. Tak beruntung
secara ekonomi misalnya, tak pula “dihargai” dalam lingkungan sosial
yang masih jauh dari tradisi keberaksaraan, dan sejumlah
ketakberuntungan lain yang kerap membuat banyak orang untuk lari dari
pilihan menjadi pengarang.