Bedanya, nuansa traumatik lebih terasa pada puisi-puisi Hanna. Sebab, rupanya benar, struktur mental penyair yang terwujud dalam puisi, sangat tergantung dari apa yang Hippolity Taine bilang sebagai momen (waktu) dan milieu (ruang/lingkungan). Sehingga, trauma masa lalu di Singkawang, turut menyusup ke puisi-puisi Hanna. Pada Sunlie, saya kira, justru yang muncul adalah karakter keras seorang laki-laki, dengan sikapnya yang lebih tampak rasional. Diksi “akhirnya aku memilih kembali” adalah keputusan tegas itu, meski kemudian yang ia hadapi adalah “kota kelahiran” yang justru mengasingkannya.
Tapi yakinlah, Hanna dan Sunlie kini sama-sama berteriak mantap, seperti bunyi kutipan puisi Sunlie berjudul “Nelayan Siam” ini, “kami bangsa merdeka, karena itu kami kibarkan bendera...”***