SENGGANG MARHALIM ZAINI

Hanna dan Sunlie

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:37 WIB

Bedanya, nuansa trau­matik lebih terasa pada pu­isi-puisi Hanna. Sebab, ru­pa­nya benar, struktur mental pe­nyair yang terwujud dalam puisi, sangat tergan­tung dari apa yang Hippolity Taine bi­lang sebagai momen (waktu) dan milieu (ruang/lingku­ngan). Sehingga, tra­uma ma­sa lalu di Singka­wang, turut menyusup ke puisi-puisi Ha­n­na. Pada Sun­lie, saya kira, justru yang muncul adalah karakter ke­ras seorang laki-laki, dengan sikapnya yang lebih tampak rasional. Diksi “akhirnya aku memilih ke­mbali” ada­lah keputusan te­gas itu, mes­ki kemudian yang ia ha­dapi adalah “kota kela­hiran” yang justru menga­sing­kan­nya.

Tapi yakinlah, Hanna dan Sunlie kini sama-sama ber­teriak mantap, seperti bunyi kutipan puisi Sunlie berjudul “Nelayan Siam” ini, “kami bangsa merdeka, ka­rena itu kami kibarkan be­ndera...”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook