“Kita boleh punya rumah, punya tanah,
pergi sekolah. Tapi kita tak boleh
memiliki tanah air.”
AGAKNYA, kita semua sepakat, bahwa tidak lagi relevan hari ini menempatkan kata “minoritas” (berkonotasi negatif) bagi masyarakat Tionghoa—sebagaimana juga menjadi tidak lagi relevan hari ini kita “menutup-nutupi” kontribusi “sastra Melayu-Tionghoa” dalam sejarah kesusastraan (modern) kita. Sebab, selain populasi orang Cina yang memang memenuhi hampir di seluruh wilayah Indonesia, generasi para pengarang peranakan Tionghoa juga terus lahir.
Nama Hanna Fransisca dan Sunlie Thomas Alexander, misalnya, adalah dua sahabat saya, dua penyair peranakan Tionghoa generasi mutakhir itu. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat (sastra) kita, seolah tengah mengajak kita melawan lupa. Mereka, seolah mengingatkan kita bahwa dulu, politik kekuasaan pernah sangat diskriminatif terhadap mereka—yang bahkan berimbas pada kehilangan ribuan jiwa. Memang, penyakit lupa lebih gampang datang, dibanding trauma sosial yang sulit hengkang.
Pernyataan-pernyataan ironi Hanna tentang tanah air misalnya (seperti dalam puisinya yang saya kutip di atas, berjudul “Air Mata Tanah Air”), tak bisa tidak, tentu membawa kita pada ruang sosial masa lalu yang diskriminatif itu. Meskipun, kalau mau menelisik lebih jauh, ihwal klaim “kepemilikan” tanah air, hari ini pun masih jadi pertelagahan yang tak jarang berujung benturan horizontal. Orang gampang membunuh bahkan sesama saudara, membakar rumah, hanya tersebab klaim wilayah. Tanah air, jadi sangat sektoral .
Maka diksi “memiliki tanah air” Hanna itu menjadi tetap relevan, jika tafsir kita perluas ke berbagai persoalan ihwal (politik) identitas—yang tak semata antara yang minoritas dan yang mayoritas. Bukankah juga sama halnya ketika banyak orang pun kini mempertanyakan siapakah dirinya, dan di manakah sesungguhnya tanah air tempat ia berpijak ini dalam gempuran masyarakat global. Ruang-ruang sosial yang sepertinya memang terbuka, tapi terasa sumpek dan menyempit, membuat setiap penyair merasa perlu menulis tentang keberagaman puak, juga sebagai “tanah air”, sebagai “kampung halaman.”
Maka benarlah Hanna ketika ia menulis begini, “Tanah air adalah tempat engkau menangis/menjatuhkan cinta, lalu dari air matamu/akan tumbuh pohon keluarga/yang kelak akan memelukmu/hingga ke pintu surga.” Benar, karena “tanah air” memang tak lagi soal KTP. Tak lagi soal pribumi atau bukan. Tak juga hanya soal masa lalu, tapi juga masa kini, bahkan masa depan. Sebab bagi Hanna, hanya “air mata cinta” yang dapat menumbuhkan “pohon keluarga” itu. Dan “tanah air” bagi penyair, tak lebih adalah sepetak tanah tempat ia menumbuhkan pohon-pohon puisi—yang kelak, tidak juga sepenuhnya berhak ia miliki.
Begitupun Sunlie. Dalam sebuah puisinya berjudul “SBKRI” (akronim dari Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) ia menulis begini, “akhirnya aku memilih kembali/ bukan ke sejarah ayah; yang mengalirkan darah hoa ren di sekujur tubuh ini.// tapi ke kota kelahiran, dimana/ warna bendera dan bahasa/ tidaklah sepenuhnya kupahami/ untuk membangun/ rumah abadi.” Sebagaimana Hanna, puisi Sunlie juga menyimpan ironi. Sama-sama galau akan tanah air, tanah asal. Antara ikhlas, dan tidak ikhlas.