Ada dua Datuk yang dipercaya sebagai orang sakti dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam dan masyarakat di Desa Tanjung Beringin, Kampar Kiri Hulu. Bahkan, makam kedua Datuk tersebut selalu diagungkan dengan tetap menziarahinya.
(RIAUPOS.CO) - DUA Datuk Nan Sakti itu adalah Datuk Darah Putih dan Datuk Pagar. Keduanya sudah meninggal dunia ratusan tahun silam. Sedang makamnya masih terawat dengan baik di atas perbukitan Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Ziarah makam kedua datuk tersebut menjadi bagian terpenting dan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan ritual tradisi di desa tersebut yang disebut Semah Rantau.
Ritual yang dilaksanakan setahun sekali ini sebagai bentuk doa sekaligus syukur bahkan nazar karena kampung mereka telah selamat dari bencana baik di darat dan di sungai. Harapan terbesar dari ritual ini adalah agar kampung mereka tetap terjaga dari serangan makhluk buas di darat dan di sungai. Maka ritual ini dilaksanakan secara besar-besaran, bahkan sekarang sudah menjadi salah satu tujuan wisata yang beberapa tahun terakhir dibungkus dalam kegiatan Festival Subayang.
Orang terpenting dalam ritual ini adalah Zainab. Ia adalah seorang nenek yang merupakan keturunan ke sebelas dari Datuk Pagar. Dia yang selalu memimpin upacara kegiatan tersebut khususnya saat Semah Rantau di darat atau penyerahan hati kerbau di makam Datuk Pagar. Sedangkan ritual di sungai dilakukan oleh Datuk Sinaro atau Datuk yang menguasai kawasan sungai di desa tersebut.
Selain ziarah ke makam Datuk Pagar, juga dilaksanakan ziarah makam Datuk Darah Putih yang letaknya tidak jauh dari makam Datuk Pagar. Ritual ziarah ke makam Datuk Pagar dilaksanakan sebelum ziarah ke makam Datuk Pagar dan dipimpin langsung oleh Datuk Besar dan diikuti oleh seluruh Datuk di desa tersebut serta tokoh agama, dan masyarakat lainnya.
Sebuah kayu besar yang tumbuh di atas makam Datuk Darah Putih sebagai bukti keberadaan datuk ini. Bahkan makam DatUk Darah Putih nyaris tidak terlihat karena batang kayu yang tumbuh di makam lebih besar dari makam itu sendiri.
Datuk Darah Putih dipercayai sebagai salah satu dukun yang berpengaruh di kampung tersebut. Kuat dan sakti. Orang-orang kampung banyak yang datang kepadanya ketika sakit. Atas izin Allah, ia mampu menyembuhkan banyak penyakit baik yang menyerang orang tua atau pun anak-anak.
Disebut Datuk Darah Putih karena datuk ini memang berdarah putih. Orang mengetahui kalau ia berdarah putih ketika sedang melakukan perjalanan. Saat itu kakinya tiba-tiba tergores oleh bambu. Masyarakat melihat darah mengalir dari betisnya, tapi tidak berwarna merah, melainkan berwarna putih. Sejak itu masyarakat semakin yakin kalau ia memang berbeda dan sakti.
Di Makam Datuk Darah Putih, seluruh datuk dan masyarakat berdoa bersama dipimpin oleh Datuk Besar. Mereka menggaungkan salawat, ayat-ayat Alquran dalam doa, berharap agar kampung mereka terjaga dari mara bahaya, agar masyarakatnya makmur, damai dan sejahtera. Begitu selesai berdoa, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju makam Datuk Pagar yang lebih jauh dan di bukit yang lebih tinggi dari makam Datuk Darah Putih. Mak Zainab kembali berjalan di bagian depan, memegang carano yang tertutup rapi berisi hati kerbau.
Datuk Pagar, Datuk Harimau
Bukan orang biasa, begitulah Datuk Pagar dikenal. Sebutan Datuk Pagar, karena kehadirannya dianggap seperti pagar rumah yang melindungi rumah tersebut dari bahaya, dari serangan hewan-hewan atau orang-orang jahat yang mau mendekati rumah tersebut. Karena kehadirannya mampu menjadi pagar bagi kampung, mampu melindungi kampung dari serangan binatang buas, khususnya harimau, maka Datuk Pagar dikenal sebagai datuk harimau, datuk yang mampu mengusir harimau yang hendak mendekati kampung tersebut.
Kepercayaan atas kesaktian Datuk Pagar turun temurun hingga ke anak cucu. Tak heran jika Semah Antau yang salah satu tujuannya untuk menjaga kampung tersebut bebas dari serangan binatang buas di darat seperti harimau, juga harus melibatkan keturunan Datuk Pagar. Zainab salah satunya. Maka, harus dia yang membawa hati kerbau tersebut dan meletakkan langsung di atas makam Datuk Pagar.
Zainab langsung meletakkan hati kerbau yang dibungkus daun pisang di dalam carano bertutup kain hitam tersebut di atas makam Datuk Pagar. Ia duduk di samping makam bagian atas. Badannya separoh membungkuk. Mulutnya komat-kamit. Ucapannya sangat samar, nyaris tak terdegar. Saat ditanya, apa yang diucapkannya, Mak Zainab menjawab singkat, ‘‘hanya salawat tiga kali.’’
Sementara itu, para datuk yang lain duduk berbaris menghadap ke arah makam. Datuk Besar kembali membakar kemenyan di atas piring seng kecil, seperti yang dilakukan saat di makam Datuk Darah Putih. Aromanya menyeruak bebas ke angkasa. Masuk ke seluruh syaraf penciuman. Lalu, doa demi doa dilantunkan dan diaminkan. Semoga Desa Tanjung Beringin tetap aman, selamat dari mara bahaya, khususnya dari serangan datuk belang penguasa rimba.
‘‘Bernazar katampek yang keramat, maminta katampek yang buliah. Tradisi ko lah kito lakukan dari zaman datuk tauci dulu. Dari zaman leluhur kito. (bernazar ke tempat keramat, meminta ke tempat yang boleh. Tradisi ini sudah kita dilakukan sejak zaman nenek moyang).’’
Ini pula yang diungkapkan Datuk Besar di hadapan makam Datuk Pagar tersebut. Pepatah dengan bahasa daerah tersebut mengartikan bahwa mereka bernazar ke tempat keramat dan meminta ke tempat yang diperbolehkan. Tradisi ziarah itu sudah dilakukan dari zaman nenek moyang dan mendarah daging dalam diri mereka. Namun, ia juga menjelaskan bahwa mereka tetap meminta kepada Tuhan. Tradisi hanya tradisi tanpa ada unsur syirik atau menduakan Tuhan. Sama seperti prosesi di makam Datuk Darah Putih, ziarah ke makam Datuk Pagar juga ditutup dengan doa yang dipimpin oleh seorang ustaz. Segala doa, cara dan persembahan hanyalah jalan. Sedangkan Allah adalah penguasa alam semesta dan kepadaNya lah jiwa raga, segala doa, pinta dan perlindungan diserahkan.
Makam Datuk Pagar juga tidak sama dengan makam lainnya. Terletak jauh di atas bukit yang di bawahnya mengalir sungai yang jernih. Bentuknya lebih panjang, bersih. Sebuah kayu tua berusia ratusan tahun juga tumbuh di atasnya. Untuk sampai ke sana harus melewati ratusan jenjang batu. Masyarakat sengaja membuat jenjang tersebut dan merawat makam Datuk Pagar sebagaimana mestinya makam orang terhormat dan berpengaruh di kampung mereka. Jenjang itu juga untuk memudahkan masyarakat yang ziarah ke tempat itu.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar