SENGGANG MARHALIM ZAINI

Hanna dan Sunlie

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:37 WIB

“Kita boleh punya rumah, punya tanah,

pergi sekolah. Tapi kita tak boleh

memiliki tanah air.”

Baca Juga :Festival Diharapkan Bisa Membangun Iklim Bersastra yang Baik

AGAKNYA, kita semua se­pa­kat, bahwa tidak lagi rele­van hari ini menempatkan kata “minoritas” (berkono­ta­si ne­gatif) bagi masyarakat Tiong­hoa—sebagaimana ju­ga me­njadi tidak lagi relevan hari ini kita “menutup-nu­tupi” kon­tribusi “sastra Me­layu-Ti­ong­hoa” dalam seja­rah kesusas­traan (modern) kita. Sebab, selain populasi orang Cina yang memang memenuhi hampir di selu­ruh wilayah Indonesia, ge­ne­rasi para pe­ngarang pe­ranakan Tionghoa juga terus lahir.

Nama Hanna Fransisca dan Sunlie Thomas Alexan­der, misalnya, adalah dua sahabat saya, dua penyair peranakan Tionghoa gene­rasi mutakhir itu. Kehadiran me­reka di tengah-tengah masya­rakat (sastra) kita, se­olah te­ngah mengajak kita melawan lupa. Mereka, se­olah mengi­ngatkan kita bah­wa dulu, po­litik keku­asaan pernah sangat diskri­minatif terhadap me­reka—yang bahkan berimbas pada kehilangan ribuan jiwa. Me­mang, penyakit lupa lebih gampang datang, dibanding trauma sosial yang sulit he­ng­kang. 

Pernyataan-pernyataan ironi Hanna tentang tanah air misalnya (seperti dalam puisinya yang saya kutip di atas, berjudul “Air Mata Ta­nah Air”), tak bisa tidak, tentu membawa kita pada ruang sosial masa lalu yang diskriminatif itu. Meskipun, kalau mau menelisik lebih jauh, ihwal klaim “kepe­milikan” tanah air, hari ini pun masih jadi pertelagahan yang tak jarang berujung benturan horizontal. Orang gampang membunuh bah­kan sesama saudara, mem­bakar rumah, hanya terse­bab klaim wilayah. Tanah air, jadi sangat sektoral ­. 

Maka diksi “memiliki ta­nah air” Hanna itu menjadi tetap relevan, jika tafsir kita perluas ke berbagai perso­alan ihwal (politik) iden­titas—yang tak semata an­tara yang minoritas dan yang mayo­ritas. Bukankah juga sama halnya ketika ba­nyak orang pun kini mem­per­tanyakan siapakah di­rinya, dan di ma­nakah sesu­ngguhnya tanah air tempat ia berpijak ini da­lam gem­puran masyarakat global. Ruang-ruang sosial yang sepertinya memang terbu­ka, tapi terasa sumpek dan menyempit, membuat se­tiap penyair merasa perlu menulis tentang keberaga­man puak, juga sebagai “ta­nah air”, sebagai “kampung halaman.”

Maka benarlah Hanna ketika ia menulis begini, “Tanah air adalah tempat engkau menangis/menja­tuh­kan cinta, lalu dari air matamu/akan tumbuh po­hon keluarga/yang kelak akan memelukmu/hingga ke pintu surga.” Benar, ka­rena “tanah air” memang tak lagi soal KTP. Tak lagi soal pribumi atau bukan. Tak juga hanya soal masa lalu, tapi juga masa kini, bahkan masa depan. Sebab bagi Hanna, hanya “air mata cinta” yang dapat menum­buhkan “pohon keluarga” itu. Dan “tanah air” bagi penyair, tak lebih adalah sepetak ta­nah tempat ia me­num­buh­kan pohon-pohon puisi—yang kelak, tidak juga sepe­nuhnya berhak ia mi­liki. 

Begitupun Sunlie. Da­lam sebuah puisinya berju­dul “SBKRI” (akronim dari Surat Bukti Kewargane­ga­raan Re­publik Indonesia)  ia menulis begini, “akhirnya aku memi­lih kembali/ bu­kan ke sejarah ayah; yang mengalirkan da­rah hoa ren di sekujur tubuh ini.// tapi ke kota kelahiran, dimana/ warna bendera dan bahasa/ tidaklah sepenuhnya ku­pahami/ untuk memba­ngun/ rumah abadi.” Seba­gai­mana Hanna, puisi Sun­lie juga menyimpan ironi. Sama-sama galau akan tanah air, tanah asal. Antara ikhlas, dan tidak ikhlas.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook