OLEH RIAN HARAHAP

Kampung Jerebu

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:37 WIB

Sementara nenek masih duduk mengayun-ngayun kakinya di beranda rumah.     Ia melongok ke arah jauh, dalam pandangan matanya ada butiran-butiran memori masa lalu. Mungkin sebuah rubrik bacaan yang sudah diukir dalam hatinya. Tentang pria paruh baya yang dahulu menenggelamkan ia dalam mimpi untuk berangkat jauh dari kampung. Logat kampung yang beririsan dengan kota. Namun asa tinggal di kampung, selesai dengan cepat. Ia merangkumkan angan, dikatupnya kaki lalu mencoba menyapu basahan pipinya. Sembari itu pula ia melakukannya setelah teriak kecil Udin-bocah kecil yang bergelantungan di jemuran kawat mereka.

“Nek...”

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

***

Pekat, rasanya ada yang menusuk-nusuk di hidungku. Malam itu dengan sedikit air yang kumasukkan ke dalam hidungku, mungkin bisa sedikit mengurangi kesakitan yang kurasa. Rajaman kabut yang menohok paru-paru ini persis mengoyak serat-serat, lalu memuntahkan darah yang meluber ke jantung, hati dan serambi pernafasanku. Entahlah, detik demi detik berlalu dengan helaan nafas panjang yang tak ada habisnya. Orang-orang di sekelilingku berlarian, dengan wajah persis seperti ninja di film Jepang.

Perihal menutup ini sudah kami lakukan semenjak dulu. Hampir dua puluh tahun lalu. Ketika itu nenek masih cantik dan belia. Ia seperti gadis yang turun dari surga. Dengan mata seperti butiran berlian, rambut yang menggenangi wajah setiap pria yang terkagum-kagum dibuatnya. Gadis muda ini memang nenekku. Ia anak kesembilan dari keturunan kepala adat di dusun kami. Dusun yang jauh dari hiruk pikuk kota. Dalam pemetaan kota dan kabupaten, dusun ini pun tak tampak.

Nenek yang kala itu setiap siang datang bersama Ayahnya, menunggu orang-orang dari kota untuk membeli hasil panen mereka. Bukan main kepalang, bisa dilihat begitu banyak pedati, delman atau pun kereta kuda yang dibelakangnya kosong, pasti akan penuh jika sudah kembali ke kota. Dusun ini bukan main terkenal seantero kota. Andai saja berjalan di lorong-lorong kota, bertanyalah pada mereka. Pada supir, pedagang, pekerja, atau orang-orang yang hidup lama di kota. Tak ada mulut yang bisa berkelit menyebut darimana asal apa yang mereka makan, darimana baju yang mereka pakai, serta siapa orang yang paling berjasa dalam kehidupan mereka. Mulut mereka serempak menjawab, dusun kami. Sementara itu, orang dusun kami tak pula pernah berjanji tentang jawaban dari pertanyaan itu.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook