OLEH MARLINA

Negeri Asap

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:32 WIB

Tubuhku membesar, melar bagai karet. Kalau aku sedang murka, akan lebih ganas dibandingkan dengan bercinta. Bagai ribuan tentakel, api-api mungilku

menggeliat, menjangkau setiap hal yang mampu disentuh. Kubakar habis apapun yang ada di hadapanku: kebun sawit, rumah penduduk. Semuanya kubabat sampai tak tersisa suatu apa pun yang dimiliki oleh makhluk-makhluk tamak tersebut. Dengan tangan jinggaku, menjadi abulah mereka. Panas tubuhku memberotak. Menghajar segalanya (“Keluh Kesah”, cerpen karya Novri Kumbara, dalam Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014).

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Penggalan cerpen “Keluh Kesah” karya Novri Kumbara tersebut menggambarkan amukan api yang meluluhlantakkan apapun yang berada di dekatnya. Api yang tidak terkendali memang dapat menjadi musuh manusia, termasuk  mengakibatkan kebakaran kebun dan hutan/lahan.

Beberapa bulan terakhir, kebakaran kebun dan hutan/lahan sedang terjadi di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian wilayah timur Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengungkapkan bahwa ratusan, bahkan kadang ribuan titik api  tersebar di berbagai kabupaten di provinsi-provinsi tersebut. Hal ini menyebabkan lebih tiga bulan wilayah di Pulau Sumatera dan Kalimantan diselimuti asap tebal.

Di Riau, kabut asap telah dirasakan masyarakat sejak tahun 1997. Sejak saat itu, asap telah menjadi bencana tahunan yang melanda Bumi Lancang Kuning ini (www.riauonline.co.id/2015/07/12). Kondisi masyarakat Riau yang memprihatinkan inilah yang diangkat dengan sangat apik oleh Novri Kumbara ke dalam cerpennya. Cara pengungkapannya yang sangat nyastra, membuat cerpen ini menjadi menarik untuk dibaca.

Ketika kabut asap sedang melanda, matahari menjadi hal yang amat dirindukan oleh makhluk yang ada di bumi ini. kepada daun: maafkan aku untuk sebulan terakhir, aku tak bisa menemuimu, mengurungmu dalam jeruji kerinduan, memberimu harapan pada penantian yang tak tahu akan berhenti kapan. –Matahari (hlm. 95). Ungkapan matahari kepada daun mewakili kerinduan masyarakat Riau akan sinar matahari pagi. Berbulan-bulan tidak menyaksikan sinar matahari.

Satu sindiran pengarang yang cukup menarik adalah ungkapan matahari yang mengatakan bahwa ia amat tidak suka dengan Riau. Menurutnya, atmosfer di Riau sangat tipis, terlalu banyak polusi yang merusak lapisan ozon, membuat penghuninya gerah dan hampir mati. Manusia yang ada di Riau selalu mengeluh betapa panasnya tempat tinggal mereka. Akan tetapi, di sisi lain, mereka tidak mau menanggulanginya dengan menanam pohon. Mereka malah mendinginkannya dengan pendingin ruangan yang makin memperparah lapisan ozon.

Kepada kabut: sampaikan salamku untuknya, napasku sesak dan aku sebentar lagi akan mati, ketika keadaan kembali seperti semula, ku tak mau ia linglung saat menyadari aku sudah tak lagi ada –Daun (hlm. 96—97). Lewat daun, Novri mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat Riau.  Daun pun mengatakan, “Sebenarnya aku sadar kalau kehadiranmu akan membuat diriku gugur, terjatuh, terhempas hingga menyatu dengan tanah. Dimulai dari keluargaku yang sulit bernapas dan sinar matahari tak bisa lagi untuk menyampaikan kasih sayangnya dengan sempurna. Kau tahu, matahari tak bisa menangis lagi. Itu sebabnya aku menguning dan rapuh.” Ungkapan daun pada kabut begitu  mengiris hati. Seperti itu jugalah yang sedang dirasakan oleh masyarakat Riau.

Beberapa waktu, udara yang dihirup masyarakat Riau sempat dalam kondisi sangat berbahaya. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan asma pun menjadi penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat Riau. Di Kota Pekanbaru,  mencapai 11.803 kasus (Riau Pos, 23 Oktober 2015). Tepatlah ketika kabut berkata kepada angin: Ibu, kau telah menciptakan monster pembunuh. Ibu, kenapa kau melahirkanku? Ibu, aku tak mau hadir di dunia ini –Kabut (hlm. 98). Asap memang akan membunuh manusia secara perlahan-lahan.

 Angin pun berkata kepada api: berhentilah bercinta! Kau membuat kabut terluka –Angin (hlm. 99). Ternyata kabut pun sedih dengan keberadaannya yang telah menyengsarakan daun dan pohon-pohon. Apilah yang telah membakar dan menghanguskan semuanya. Menghanguskan ribuan hektar hutan, termasuk juga hutan bakau yang akan menjadi penyeimbang ekosistim. Semua musnah, meninggalkan asap pekat yang tak berkesudahan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook