JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Satu lagi pimpinan KPK yang dinyatakan terbukti bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Yakni Lili Pintauli Siregar. Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan Lili terbukti menyalahgunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili juga terbukti berhubungan langsung dengan pihak berperkara.
Ketua Majelis Sidang Etik Dewas KPK Tumpak H Panggabean menyebut wakil ketua KPK itu terbukti melanggar pasal 4 ayat (2) huruf b dan a Peraturan Dewas Nomor 2/2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Dewas pun menghukum Lili dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Pelanggaran etik itu merupakan buntut percakapan intens Lili kepada Wali Kota Tanjungbalai (nonaktif) M Syahrial terkait perkara dugaan korupsi jual beli jabatan yang sedang ditangani KPK. Berdasar bukti dan keterangan saksi, Lili terbukti mengarahkan Syahrial agar menghubungi pengacara bernama Arief Aceh. Arahan itu diberikan karena Lili dimintai bantuan oleh Syahrial.
Menurut Dewas, Lili semestinya tidak sepatutnya mengarahkan pihak yang berperkara di KPK untuk menghubungi pengacara tertentu.
"Seharusnya terperiksa (Lili) cukup menyampaikan 'maaf tidak bisa membantu'," kata anggota majelis sidang etik Dewas KPK Albertina Ho saat membacakan pertimbangan putusan secara virtual, kemarin (30/8).
Arahan itu menunjukkan bahwa Lili berupaya membantu Syahrial mengatasi permasalahannya di KPK. Dewas berpendapat bahwa komunikasi yang tidak patut itu lantaran sebelumnya Lili mendapat bantuan dari Syahrial dalam mengurus uang jasa pengabdian Ruri Prihatini Lubis. Ruri merupakan adik ipar Lili yang pernah menjadi Plt Dirut PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai.
Parahnya lagi, Lili sama sekali tidak melaporkan kepada pimpinan KPK yang lain terkait hubungannya dengan Syahrial. Menurut Dewas, Lili baru memberitahukan komunikasi intens itu setelah ditanyakan Ketua KPK Firli Bahuri.
"(Ditanyakan Firli) karena masalah tersebut telah viral diberitakan di media sosial," ungkap Albertina.
Sesuai ketentuan, seharusnya Lili memberitahu pimpinan KPK lain jika memiliki hubungan dengan pihak berperkara di KPK. Pemberitahuan itu untuk menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam perkara yang sedang ditangani KPK. "Seharusnya terperiksa (Lili) memberitahukan kepada pimpinan KPK yang lain segera setelah hubungan tersebut terjadi," paparnya.
Meski dijatuhi hukuman sanksi berat, Lili menerima keputusan Dewas tersebut. Namun, dia enggan menanggapi lebih lanjut perihal hubungannya dengan Syahrial dalam perkara tersebut.
"Saya menerima tanggapan Dewas, saya terima tidak ada upaya-upaya lain, terima kasih," kata Lili usai menjalani putusan sidang etik di gedung ACLC KPK.
Di sisi lain, merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82/2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 29/2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan, Protokol dan Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK, gaji pokok (gapok) yang diterima Lili sebesar Rp4,62 juta. Sehingga, potongan 40 persen sebagaimana hukuman Dewas berkisar sekitar Rp1,848 juta.
Merujuk aturan itu, gapok wakil ketua KPK memang relatif kecil dibanding penghasilan tunjangan. Jika ditotal, tunjangan wakil ketua KPK sebesar Rp107,9 juta. Terdiri dari Rp20,474 juta (tunjangan jabatan), Rp2,1 juta (tunjangan kehormatan), Rp34,9 juta (tunjangan perumahan), Rp27,33 juta (tunjangan transportasi), Rp16,325 juta (tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa), dan Rp 6,807 juta (tunjangan hari tua).
Atas putusan Dewas KPK tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan bahwa, hukuman terhadap Lili terlampau ringan. Menurut Boyamin, Lili mestinya disanksi lebih berat. Sebab, pelanggaran yang dilakukan oleh mantan wakil ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu termasuk fatal.(syn/tyo/jpg)