INTERUPSI

Tepak Lembaran Gejolak Politik Riau, Riau Merdeka dan Otsus

Riau | Rabu, 30 Mei 2018 - 10:19 WIB

Tepak Lembaran Gejolak Politik Riau, Riau Merdeka dan Otsus

Berapa yang di kasihkan ke Riau, si pemilik kekayaan? Untuk Tingkat I Rp163,870 miliar, Tingkat II Rp 485.580 miliar, dana sektoral Rp364.340 miliar, total Rp1.013 triliun. Maka persentase yang diterima Riau Rp 1.013 triliun kali 100 persen berarti hanya 1,71 persen dari Rp59,146 triliun. Lebih parah lagi dari sektor non pajak yang dikembalikan hanya 0,07 persen.

Membuka arsip Riau Pos, 14 Maret 1999, bila dihitung secara umum, minyak yang dihasilkan Riau sekitar 947 ribu barel per hari. Bila di hitung selama 46 tahun pada eksplorasi (Tahun 2018 berarti 65 tahun) dengan rata rata 14 dolar AS atau sekitar Rp2,004 triliun. Sedangkan royalti yang kembali ke Riau sekitar 400 dolar AS per tahun dalam bentuk pembangunan masyarakat.

Baca Juga :Wabup Bagus Santoso Ekspose Rencana Pembangunan Jembatan Pakning-Pulau Bengkalis

PT Caltex sekarang Chevron mengeksplorasi minyak dengan produksinya mencapai 300,641 juta barel per tahun atau sekitar 853,113 barel per hari. Pada tahun 1992 jika harga minyak 10 dolar per barel, per hari akan dihasilkan Rp66 miliar atau menghasilkan Rp10 miliar sehari. Hasil tersebut diserahkan ke Jakarta setelah pembagian Pertamina dan Caltex (75:25). Dan Riau hanya menerima cipratan minyak sangat kecil sekali sekitar 30 juta dolar.  Maka berdasarkan perhitungan di atas rasanya sangat masuk akal jika Riau menuntut pembagian dana yang memadai, salah satu cara dengan otsus.

Belum lagi ditambah dengan hasil hutan dan lainnya.  Tercatat waktu itu sekitar 4.868,074 hektare dari wilayah Riau adalah hutan, atau sekitar 49.6 persen dari luas daratan. Dimana dua perusahaan besar yaitu Pulp and Paper (RAPP dan Indah Kiat) telah menguasai 10 persen dari keseluruhan hutan di Riau. Selain rendahnya keuntungan yang di peroleh Riau efek negatif kerusakan hutan tak dapat dihindarkan. Eksploitasi kekayaan Riau tidak hanya mencakup minyak, gas, dan hutan tapi kala itu juga pasir yang menjadi keroyokan pengusaha Jakarta dan Singapura.

Dibandingkan dengan wilayah lainnya seperti Aceh, Papua, dinamika politik Riau relatif tidak menunjukkan guncangan politik yang sangat berarti. Bahkan secara umum Riau termasuk “ anak manis”.  Meski gejolak politik kadang meletup tetapi tetap santun hal  ini boleh jadi karena tak dapat dipisahkan dari karakter masyarakat Riau yang dikenal sebagai masyarakat terbuka.

Heteroginitas masyarakat Riau tercermin dengan jelas dari bervariasinya suku suku dan etnisitas yang tinggal di Riau.  Heteroginitas jangan dijadikan pembeda antara Riau dengan Aceh dan Papua. Sehingga dengan mudah melemahkan soliditas “peperangan”.  Prof Nazaruddin Syamsudin Dosen Ilmu Politik UNAS Jakarta asal Aceh mengatakan keliru kalau heteroginitas dijadikan kelemahan, tetapi sebaliknya menjadi kekuatan.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook