Becak laut adalah istilah untuk kurir narkoba. Selain becak laut, ada juga becak darat. Kadang menggunakan istilah gendong. Mereka “menggendong” narkoba dari tengah laut yang diantarkan kurir dari Negeri Jiran. Sumber Riau Pos di Desa Teluk Rhu menyebutkan, modus baru yang dilakukan adalah bertukar pompong nelayan di tengah laut pada titik koordinat yang ditentukan. Nelayan dari Rupat Utara ini membawa pompong kayu ke tengah laut lengkap dengan peralatan nelayan seperti jaring. Dibawa juga sedikit ikan sebagai samaran. Di seberang sana, dari Port Dickson atau Port Klang datang juga nelayan membawa pompong mesin dengan warna, ukuran, ikan, dan barang bawaan lain yang sama. Bedanya, pompong dari Malaysia membawa juga narkotika. Biasanya jenis sabu atau ineks. Kerap kali masih kemasan besar, satu hingga sepuluh kilogram. Maksimal 20 kilogram. Bentuknya sering kali menggunakan kemasan teh Cina.
Mereka janjian bertemu di titik koordinat yang ditentukan di batas dua negara, Selat Melaka. Lalu mereka bertukar pompong di sana. Pompong dari Rupat dibawa ke Port Dickson atau Port Klang. Pompong satu lagi yang membawa sabu dibawa ke wilayah Indonesia. Kerap kali tujuannya bukan ke Rupat, melainkan Dumai atau Bengkalis. Sebab, “pangsa pasar” di kedua daerah itu lebih besar. Pun biasanya “menggendong” dalam jumlah besar dapat didistribusikan ke seluruh Sumatera hingga Jawa setelah masuk ke Dumai atau Bengkalis. Harga jual juga lebih besar setelah dibagi dalam paket-paket, jika narkoba itu berhasil dibawa ke Sumatra apalagi Jawa. Harga sabu dari Malaysia Rp300 juta hingga Rp500 juta per kilogram. Harganya meningkat saat memasuki daratan Sumatra menjadi Rp800 juta hingga Rp1 miliar per kilogram. Jika sudah dikemas dalam kemasan kecil, harga bisa naik lagi jadi Rp1,3 miliar per kilogram. Adapun untuk yang menggendong biasanya diganjar Rp10 juta hingga Rp25 juta per kilogram.
Selain modus tukar pompong, modus lainnya adalah mengambil barang di tengah laut. Tidak saling tukar pompong. Mereka saling berjanji bertemu di titik koordinat tertentu, transaksi ambil barang, lalu berpisah. Kadang lebih ekstrem lagi. Narkoba dari Malaysia diletakkan di tengah laut, diapungkan, ditandai dengan plastik berwarna tertentu atau bendera. Kadang didiamkan saja beberapa lama. Diendapkan. Kadang langsung diambil. Dalam beberapa jam, bahkan dalam hitungan menit, sudah ada yang menjemput dari Indonesia.
Modus lainnya yang terbilang lama adalah para penggendong dari Rupat datang ke hulu sungai di Port Dickson. Tentu tidak melalui pos imigrasi. Mereka yang sudah biasa main smokel tidak terlalu sulit untuk mengenal medan dan menghindari petugas PDM (Polisi Diraja Malaysia). Ada ratusan pelabuhan tikus yang bisa digunakan. Mereka akan mencari narkoba yang biasanya disembunyikan dengan cara ditanam di pinggir sungai. Seorang penghubung telah memberikan informasi soal tanda dan titik koordinat peletakan dadah alias barang haram itu.
Kebanyakan di antara para tukang gendong atau kurir itu tidak saling kenal. Mereka dikendalikan oleh seseorang di Malaysia, seorang bandar besar Ng K. Dia yang mengatur semuanya. Di daratan, pengaturan dilakukan oleh seseorang dari Lapas Klas II a Pekanbaru Ts. Ts sudah tertangkap, tapi masih bisa main. Di bawah Ts, ada S yang mencacah barang haram ini untuk diedarkan hingga ke Lampung, juga seluruh Sumatra. Jika S sudah menyelesaikan tugasnya mengatur becak darat, maka Ts yang dari dalam penjara menelepon Ng K, bandar besar di Malaysia untuk transfer uang. Begitu seterusnya. Selain tiga jaringan ini, yang lainnya tertutup bahkan kerap kali tak saling kenal.
Terdapat beberapa jaringan yang main di sempadan negeri ini. Tapi hampir semuanya kemudian bermuara pada sosok Ng K. Dia jadi semacam “dewa” di dalam beberapa jaringan pengedar. Sangat sulit tersentuh dan licin. Polisi Diraja Malaysia juga belum dapat menyentuhnya kendati beberapa “tangan dan kakinya” di Indonesia sudah ditangkap.
Rekrut Anak-Anak Muda
Sumber Riau Pos lainnya menyebutkan, kebanyakan para bandar dari Malaysia merekrut anak-anak muda di Rupat Utara dan beberapa desa lainnya dengan datang baik-baik. Mereka datang ke perkampungan nelayan dengan memberikan bantuan. Tak hanya untuk nelayan, tapi juga untuk bantuan sosial, sembako, hingga rumah ibadah. Ada kepedulian besar di sana ketika masa sulit ini. Di antara bantuan itu, mereka juga membawa sabu untuk dicoba. Para nelayan tetap melaut setelah mencoba dua hingga tiga kali sabu-sabu itu. Saat akan memberi yang keempat biasanya muncul tawaran.
“Bantu gendong dulu,” ujarnya menirukan.
Itulah teknik perekrutan tukang gendong narkoba di Rupat dan hampir semua kawasan pesisir. Sumber Riau Pos di Teluk Rhu mengatakan, kondisi peredaran narkoba dan yang ikut terlibat di desa ini sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan dia menyebut, sudah sekitar 30 anak-anak muda Teluk Rhu yang kini mendekam di penjara akibat menjadi tukang gendong alias kurir narkoba.
“Bahkan sudah ada yang mendekam di Nusa Kambangan,” sebutnya.
Tentu saja yang sedang di Nusa Kambangan termasuk kategori pengedar besar. Sudah masuk dalam jaringan kelas kakap. Ada juga yang di Lapas Klas II a Pekanbaru. Hukumannya seumur hidup. Sisanya di Lapas Dumai dan Bengkalis. Mereka yang terhukum selama empat hingga lima tahun sudah terlalu banyak dari desa ini.
Tidak sulit untuk membedakan mana nelayan yang benar-benar nelayan dan mana yang sambil jadi tukang gendong. Biasanya, terjadi peningkatan ekonomi secara cepat. Dalam enam bulan, tiba-tiba rumahnya bagus. Beli mobil. Ganti perabot. Padahal profesi sama-sama nelayan. Di kampung tentu semuanya tahu bagaimana ekonomi yang masih serbasulit. Ikan yang tidak lagi mudah. Pariwisata belum begitu menjanjikan.
“Kadang baru terbukti kalau tahu-tahu sudah tertangkap. Itu pun biasanya tidak di sini tertangkapnya,” ujarnya.
Para bandar besar hingga bandar kecil sangat lihai merekrut anak-anak muda termasuk para nelayan ini. Jumlahnya di sebuah desa bisa hingga puluhan orang. Tapi sumber Riau Pos menyebutkan, yang tertangkap jarang sekali. Bisa satu berbanding sepuluh, bahkan dua puluh. Saking banyaknya kaki tangan para bandar di desa, jarang sekali aparat kepolisian yang dapat melakukan operasi penangkapan tanpa tercium mereka. Informasi di antara para informan bandar ini cepat sekali menyebar, sehingga sulit dideteksi.
Baik becak laut, maupun becak darat punya kelicinan yang sama. Bahkan informan aparat, dalam beberapa kasus tidak bisa mengungkap kasus karena informan bandar narkoba lebih banyak dan dapat bertukar posisi dalam waktu cepat. Termasuk para kurirnya. Misalnya, aparat mendapatkan informasi bahwa ada transit narkoba dari becak laut ke becak darat. Penggendongnya menggunakan baju warna tertentu, topi, ciri-ciri khusus, membawa tas khusus, naik kapal tertentu. Di darat akan dijemput oleh orang dengan ciri tertentu juga. Ternyata, di dalam kapal, orang yang membawa paket sudah berganti. Bahkan hingga beberapa orang. Yang menerima juga ternyata sudah tidak ada. Sangat sulit bagi aparat jika harus menggeledah semua orang untuk mencari bukti.
Kondisi Rawan
Kapolsek Rupat Utara AKP Dedi S mengakui kondisi Rupat Utara rawan peredaran dan transit narkoba. Tapi menurutnya di wilayahnya minim kasus narkoba. Baik sebagai pemakai maupun pengedar. Transit dan kasus gendong narkoba terjadi di tengah laut yang bukan yurisdiksinya dan langsung dibawa ke Rupat bagian selatan, bukan Rupat Utara. Tujuannya biasanya pelabuhan roro Rupat menuju Dumai. Penangkapan biasanya di sana.
“Selama saya jadi kapolsek tidak ada kasus narkoba. Ada, tapi sebelum itu,” ujar Dedi.
Dia juga menyebut, memang ada istilah tukang gendong. Tapi itu bukan nelayan. Memang profesinya seperti itu. Nelayan hanya sebagai penyamaran saja. Sebenarnya cukup banyak informasi yang disampaikan Dedi. Hanya saja dia meminta tidak dari dirinya.
“Pada atasan saya saja di Polres,” ujarnya.
Kapolres Bengkalis AKBP Hendra Gunawan SIK MT menyebutkan, Rupat Utara memang termasuk minim kasus narkoba. Sebab, biasanya, tukang gendong dari Rupat Utara langsung menuju ke Bengkalis atau pelabuhan roro di Rupat bagian selatan untuk dibawa ke Dumai. Dari 94 kasus narkoba di wilayah Polres Bengkalis selama tahun 2020, yang terbanyak justru di wilayah Polsek Mandau 41 kasus. Rupat Utara berada di posisi kedua terkecil yakni hanya tiga kasus, di atas Siak Kecil dua kasus. Bahkan kasus di Polsek Rupat lebih banyak, yakni enam kasus.
Menurut Kapolres, beberapa nelayan memang dilibatkan dalam peredaran narkoba di pesisir ini. Mereka memiliki pola tertutup dan kompak. Hampir setiap peredaran narkoba, penduduk lokal dilibatkan. Hal ini tentu agak berbeda dengan pernyataan Kapolsek.
“Jika tidak sebagai kurir atau tukang gendong, mereka menjadi mata-mata untuk melihat gerak-gerik polisi,” ujar Hendra Gunawan.
Danramil Rupat Kapten Sagino ketika ditanyakan kondisi kerawanan di Rupat Utara justru langsung menyebut narkoba. Dia tidak melihat ancaman di perbatasan negara ini lebih besar dibandingkan narkoba. Bahkan soal pelanggaran batas, kapal perang asing, isu imigran, dan lainnya tidak pernah jadi hal serius lagi dibandingkan narkoba.
“Informasi dari intelijen kita, yang paling rawan memang narkoba,” ujar Sagino.
Hal senada disampaikan Sertu Januarifki mewakili Danposal Rupat Utara Letda Laut Syafrizal. Dalam sebulan terakhir, ada dua penangkapan narkoba oleh Angkatan Laut. Tapi tidak ada pelanggaran kedaulatan. Para nelayan Malaysia atau kapal asing yang melayari Selat Melaka tetap pada jalurnya sehingga tidak masuk kategori pelanggaran kedaulatan.
Bahkan kasus perompakan pun tidak pernah ada lagi. Padahal, sebelumnya, Selat Melaka terkenal dengan lanun atau bajak laut cara tradisional. Lanun Selat Melaka memang tidak sampai menguasai kapal, menyandera atau meminta tebusan. Apalagi membunuh. Mereka hanya sekadar cari makan, bukan cari kaya. Mereka hanya mengejar, naik ke kapal-kapal internasional yang sedang melaju, lalu mengambil uang atau barang di kapal itu. Di kegelapan malam. Lalu mereka turun dan menghilang di dalam gelap malam bersama sampan kecil. Itu cerita dulu. Kini nyaris tak terdengar ada lanun. Kejahatan lain yang paling mengganggu memang peredaran narkoba ini.
Jaringan Cina
Peredaran gelap narkoba di Rupat Utara dan sekitarnya merupakan jaringan Cina-Malaysia. Semua narkoba yang masuk ke pesisir ini umumnya berasal dari Guangzhou, Cina. Ada juga dari Thailand dan Myanmar. Tapi jumlahnya kecil. Kebanyakan memang berasal dari Cina. Di Cina terdapat semacam home industry narkoba yang sangat banyak. Narkoba itu kemudian disuludupkan ke Malaysia melalui pengiriman peti kemas lewat bahan makanan, pakaian, bahkan elektronik. Jumlahnya bisa puluhan ton.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Riau Brigjen Pol Drs Kenedy SH MM melalui Kabid Pemberantasan BNNP Kombespol Berliando SIK menyebutkan, perdagangan Malaysia-Cina hampir bebas sehingga peti kemas bisa leluasa masuk. Itulah kesempatan penyeludupan. Termasuk narkoba.
“Lalu dari pesisir Malaysia dikirim ke wilayah Indonesia,” ujar Berliando.
Pengiriman barang haram dari Malaysia ini biasanya dengan modus speed to speed. Jumlahnya lebih kecil dibandingkan modus ship to ship. Modus ship to ship biasanya dalam partai besar termasuk antara Cina dan Malaysia. Narkoba asal Cina sendiri tidak pernah langsung ke Indonesia. Semuanya lewat Malaysia. Modus ship to ship di Indonesia sempat ada ketika pengiriman dari kapal Iran ke Indonesia. Jumlahnya memang bisa sangat fantastis. Bisa ratusan kilogram.
Berbagai modus pengiriman berikutnya ke pesisir Riau memang dilakukan. Termasuk dengan istilah gendong, becak darat dan laut. Modusnya juga bermacam-macam. Tapi Berliando mengakui bahwa modus tukar pompong di tengah laut Selat Melaka dekat kawasan Rupat Utara termasuk modus baru.
“Itu modus baru. Akan kami telusuri dan dalami informasi itu,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan bahwa para bandar narkoba sangat licin dalam memanfaatkan nelayan. Dia bahkan menyebut, nelayan di pesisir, termasuk di Rupat Utara bukan sekadar dimanfaatkan, tapi sudah direkrut. Mereka menjadi bagian dari jaringan ini dan aktif dalam membantu para bandar. Kesejahteraan yang minim membuat mereka mau bekerja sama. Bahkan dari segi memata-matai, mereka sudah sangat lihai.
Makanya ketika ada satu anggota jaringan yang tertangkap, yang dilakukan tidak hanya tindak pidana asal (TPA). Pihak BNNP juga akan menggunakan pasal pencucian uang atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab, jaringan ini, kendati sudah ditangkap dan dipenjara, tapi masih punya uang untuk mengatur banyak hal. Tak hanya dapat mengatur sesama napi di lembaga pemasyarakatan, tapi juga oknum petugas hingga jaringan mereka di luar. Buktinya, mereka masih leluasa menggunakan telepon seluler.
Dalam perkembangan terbaru, pihak Ditjen Lapas Kemenkumham sudah menerapkan aturan blok khusus bagi bandar narkoba. Standarnya sama dengan Lapas Nusa Kambangan. Banyak CCtv, tidak ada colokan untuk charge telepon seluler (ponsel). Ponsel tentu juga dilarang masuk. Hanya saja tentu gebrakan ini perlu benar-benar diawasi penerapannya.
“Sebab, orang-orang ini masih banyak duitnya. Dengan uang itu mereka mengatur semuanya. Makanya, kami juga menerapkan TPPU untuk memiskinkan mereka,” tegas Berliando.
Dia juga meminta kerja sama semua pihak dalam mengatasi masalah narkoba yang jadi masalah bangsa ini. Tidak hanya polisi dan BNN. Tapi juga pemda dan unsur masyarakat lainnya. Caranya adalah dengan intensif memberikan penyuluhan dan pencegahan. Dalam beberapa kasus, mereka yang direkrut jadi mata-mata, kaki tangan, tukang gendong, awalnya karena tidak tahu. Mereka ditawari narkoba dan tidak paham efek dan dampaknya. Mereka akhirnya ketagihan dan mau diminta menjadi kurir. Pemahaman ini yang perlu intensif disampaikan hingga ke pelosok desa. Jika terlambat, maka jaringan ini akan makin kuat dan berpotensi menjadi kartel. Benar-benar akan jadi “neraka” nantinya kawasan ini.
“Jangan sampai jadi kartel dulu wilayah kita ini,” ujarnya.(esi/ted)
Laporan MUHAMMAD AMIN, Rupat Utara