Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Provinsi Riau Masrul Kasmy menyebut, Rupat akan menjadi kebanggaan Riau bahkan nasional ke depan. Pihaknya sudah menyusun konsep terintegrasi di Rupat, khususnya Rupat Utara. Selain pariwisata, Rupat akan dijadikan sentra perekonomian juga, selain juga sentra agama. Pihaknya akan membuat pesantren, menjadikan pulau zakat, dan beberapa konsep penting lainnya di Rupat.
“Perlu dibangun konsep dan citra diri yang kuat untuk Rupat. Kami sedang mengkonsep itu,” ujar Masrul.
Transisi "Surga ke Neraka"
Jauh sebelum konsep indah tentang Rupat didedahkan, kawasan ini sudah lama terpapar pengaruh Malaysia. Perdagangan lintas batas sudah dilakukan jauh hari. Saat batas negara belum diatur terlalu ketat, warga Rupat Utara kerap bertukar komoditas dengan warga Port Dickson dan Port Klang. Mereka juga kerap bertukar komoditas ke Melaka dan Muar. Kadang cukup pakai sampan layar, bahkan sampan kecil untuk satu orang. Mirip kano atau kayak.
“Dulu itu pergi bawa ikan, pulang bawa beras, gula, lada. Senanglah (mudah, red),” ujar warga Teluk Rhu, Zairi Efendi (51) dengan logat Melayu yang kental.
Di era tahun 1980-an, ketika Polisi Diraja Malaysia (PDM) mulai memperketat pengawasan, maka mereka tak lagi bebas berdagang. Penyeludupan pun mulai marak. Warga pesisir menyebutnya smokel. Mereka datang dan pergi secara sembunyi-sembunyi. Awal-awalnya, Polisi Diraja Malaysia masih bisa diajak kerja sama. Bahkan cukup dikasih rokok, pelaku smokel sudah bisa berdagang di sana. Maklum, sebagian petugas juga berdarah Indonesia bahkan orang Rupat sendiri. Beberapa di antara mereka bahkan berkerabat dekat. Sebagian generasi 1970-an masih menikmati “surga perdagangan” di sempadan ini.
Belakangan, masalah perdagangan lintas batas makin diperketat. Bahkan pelaku smokel mulai ditangkap. Tapi banyak di antara mereka yang tidak kapok. Zairi sendiri pernah ditangkap. Bahkan hingga dua kali.
“Yang pertama, ditahan empat bulan. Yang kedua dua bulan,” ujar Zairi terkekeh.
Pengalaman buruk masuk penjara Malaysia tak membuatnya kapok. Tapi jangan ditanya nasionalisme. Mereka tetap Merah Putih. Ringgit di perut, Garuda tetap di dada. Hanya saja soal perut ini begitu sulit disiasati. Bahkan hingga kini, Ringgit masih beredar di Rupat Utara sebagai mata uang yang beredar.
“Di Tanjung Medang, jual beli ikan masih pakai Ringgit,” ujar Zairi.
Tahun 2010, pengetatan benar-benar dilakukan kedua negara. Sebab, masalah perbatasan makin krusial. Rupat Utara termasuk salah satu pintu masuk bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) dari berbagai provinsi di Tanah Air, mulai Jawa hingga NTT. Pembatasan dari Malaysia tak hanya soal perdagangan lintas batas, tapi juga TKI ini. Dampaknya sangat besar bagi warga sekitar. Sebelumnya mereka bisa menjadi tekong (nakhoda) yang mengantar TKI ke Malaysia. Mereka juga bisa menampung TKI, menjual makanan, atau kebutuhan lain. Tapi sejak 2010 tidak bisa leluasa lagi. Smokel juga tidak bisa.
“Sejak itu beratlah kehidupan di sini. Balik jadi nelayan lagilah,” ujar Zairi.
Bisa dikatakan, perekonomian sebelum 2010 sangat baik di Rupat Utara. Ringgit mudah didapat. Kawasan ini bisa disebut termasuk “surga” perekonomian. Tapi setelahnya menjadi berat. Transisi menuju perekonomian dan kehidupan yang lebih berat.
“Apalagi sejak masa Covid-19 ini. Lebih berat lagi,” ujarnya.
"Neraka" di Sempadan
Pagi itu, sampan-sampan mulai bergerak dari Desa Teluk Rhu menuju laut lepas di Selat Melaka. Para nelayan menggunakan sampan kayu bermesin. Peralatan nelayan seperti jaring tetap wajib ada. Tapi sumber Riau Pos menyebutkan, tidak semua nelayan benar-benar pergi untuk mencari ikan di Selat Melaka. Apalagi pekan ini termasuk masa sulit perikanan. Masa “berhenti kelam.”
“Ada yang jadi becak laut,” ujarnya.