Ditambahkan Abdul Azis, situasi itulah yang membuat pihak desa ingin agar warga memiliki keterampilan, sehingga bisa mandiri dari sisi perekonomian. Kalau tetap seperti ini, hanya bergantung dengan karet dan hasil hutan, perekonomian warga akan semakin terpuruk.
“Perlu solusi dari pemerintah dengan cara mengajarkan warga desa keterampilan. Sehingga warga dapat menata hidupnya menjadi keluarga mandiri yang tidak harus bergantung sepenuhnya dengan karet,” ungkap Abdul Azis.
Menurut Abdul Azis, semua warga tahu bahwa menebang hutan itu tidak baik. Warga juga tahu kayu jenis apa yang mereka tebang. Warga tidak akan menebang kayu secara serampangan dan membabi-buta. Warga tahu batasannya. Karena warga menebang kayu bukan untuk kekayaaan tapi untuk bertahan hidup.
“Lihatlah rumah warga penebang kayu, semuanya sederhana. Tidak ada yang hidupnya mewah,” ungkap Abdul Azis.
Itu artinya, jika ekonomi warga mandiri, Abdul Azis yakin, tidak ada lagi warga yang menebang kayu. Karena warga sadar betul mereka bagian dari Hutan Marga Satwa Rimbang Baling dan mereka merupakan masyarakat adat yang memiliki wilayah adat seluas 4.414 hektare. Jika itu sudah rusak, apalagi yang harus diwariskan ke anak cucu.
Satu lagi tentang pendidikan. Jika di Desa Aur Kuning ada SMP Negeri, Abdul Azis ingin di Gajah Bertalut ada SMA Negeri. Sehingga anak-anak dari delapan desa yakni Muarabio, Batu Sanggan, Tanjungberingin, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Subayang Jaya, dan Pangkalan Serai tidak perlu lagi sekolah di Gema dan Lipat Kain.
“Dengan adanya SMA, perekonomian sebagian warga akan terangkat dan desa akan lebih maju,” ungkap Abdul Azis.
Dan yang terpenting dan secepatnya dibenahi adalah harga karet. Bagaimana caranya harga karet kembali stabil. Sehingga warga tak lagi menjerit dan merusak diri sendiri dengan cara menebang kayu hanya untuk membeli beras dan bertahan hidup. Padahal, di hutan sana untuk menebang kayu warga harus menginap. Dengan alat seadanya kayu ditebang, lalu dari atas bukit diturunkan dengan hati-hati. Jika ceroboh, nyawa menjadi taruhannya.
Seorang remaja putus sekolah bernama Kardi (16), mengisahkan bagaimana sulitnya akses menuju ke atas bukit dan membawa beban berupa peralatan menebang dan perlengkapan untuk menginap termasuk beras dan lainnya.
“Saya cuma diperbolehkan ikut oleh ayah saya hanya satu kali. Dia katakan, kamu tidak sanggup, pekerjaan ini sangat berat,” itu ucapan ayah saya.
Hasilnya tidak setimpal dengan pengorbanan yang diberikan, mulai dari harus bermalam dan makan seadanya.
“Dan yang menyedihkan harus merusak hutan. Padahal seharusnya kami harus menjaganya bersama,” ucap Kardi.
Sementara Lawa, dari Yayasan Institute Sumber Daya Dunia atau World Resources Institute (WRI) mengatakan saat ini pihaknya sedang memperjuangkan Desa Gajah Bertalut tetap menjadi desa adat, hutannya hutan adat, masyarakatnya masyarakat adat dan hukumnya hukum adat. Saat ini perjuangan belum selesai, meski beberapa bagian sudah mendapat legalitas berupa SK Bupati Kampar sebagai Desa Adat. Namun, belum sepenuhnya diterima.
“Kami ingin keempat item itu menjadi milik Gajah Bertalut selamanya. Sehingga bisa diwariskan ke anak cucu,” ungkap Lawa, yang kini sedang menanam ulang buah-buah yang mulai langka, seperti gandaria, langsat dan beberapa buah hutan lainnya.
“Saya ingin ada budidaya kopi di desa ini. Sehingga saat harga karet seperti ini warga masih bisa bertahan,” ungkap Lawa.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru Firman Agus, meski berhalangan ikut, namun dia berkeinginan mengajarkan warga jurnalistik. Dengan terampilnya warga menulis, warga dapat mengabarkan kepada dunia, betapa indahnya desa mereka. Betapa ramahnya warga di sana, siang hari pintu rumah dibuka lebar-lebar, saling sapa dan saling jaga. Air gunung yang bisa langsung minum dan banyak hal bisa diperbuat.
“Kami akan jadwalkan beberapa hari dan beberapa kali. Sehingga misi desa adat yang mandiri dan maju dapat tercapai,” harap Firman Agus.***
Laporan MONANG LUBIS, Gajah Bertalut