Senyum ramah warga dan tegur sapa menjadi hal yang tak terlupakan. Luas Desa Gajah Bertalut menurut Datuk Pucuk Abdul Azis yang juga sebagai Kaur Pemerintahan Desa adalah 4.414 hektare. Dari jumlah itu, sekitar 2.000 hektare lebih merupakan kebun karet warga yang diwariskan secara turun temurun. Saat ini warga yang tinggal di desa ada 108 KK dengan jumlah penduduk sekitar 300 orang. Ada empat dusun di desa itu.Yakni Gajah Bertalut, Koto Masjid, Bunga Tanjung, dan Tanjung Liboi.
“Itu artinya, warga desa akan saling kenal,” ungkap Abdul Azis.
Mereka saling kenal karena pintu rumah mereka tak pernah tertutup di siang hari. Dan rumah mereka juga berada dalam satu kelompok, rapat-rapat dan saling berhadapan dengan jalan desa semenisasi yang memiliki lebar sekitar 2 meter.
Desa itu berada di kaki bukit. Ada beberapa bukit dan lembah serta air terjun di sekitar desa. Di desa ini juga ada situs bersejarah berupa tangga rumah panggung yang terbuat dari semen dengan relif yang indah. Hanya saja bangunan rumah sudah tidak ada. Tinggal tangga yang tertera tahun pembuatannya pada 1841.
Di bukit-bukit yang mengelilingi desa itulah pohon karet berada. Warga menggantungkan hidup dengan bertani karet, mencari madu di hutan, memikat burung, mencari petai dan apa saja yang bisa dimanfaatkan dan tidak melanggar hukum adat. Setiap pagi, sebagian warga akan pergi menakik atau menyadap karet. Sejak harga karet terjun bebas menjadi Rp4.000 per kg, tak banyak lagi lelaki yang menakik. Pekerjaan itu sudah diambil alih para ibu dan remaja yang putus sekolah. Kepala keluarga dan pemuda memilih menebang kayu di hutan untuk menambah penghasilan.
“Kami terpaksa melakukan hal itu, karena kalau hanya bergantung dengan karet yang harganya anjlok, kami tidak dapat makan,” ungkap Limas, ibu rumah tangga.
Lebih jauh dikatakannya, sudahlah harga karet jatuh, di sini sedang musim hujan.
“Coba bayangkan bagaimana kami harus ke kebun untuk menakik kalau sejak pagi sudah hujan,” ucapnya.
Kalau pun hari cerah, paling banyak karet yang bisa disadap hanya 15 kg. Itu artinya dengan naik bukit setiap hari, digigit nyamuk dan syukur-syukur tidak ada babi hutan dan ular, pulang tengah hari, hanya menghasilkan Rp60 ribu.
“Nyawa taruhannya jika kami sedang berada di bukit sana. Tak jarang babi hutan merusak karet yang baru saja ditakik,” keluh Limas.