GAJAH BERTALUT, NEGERI YANG BERUSAHA MENJAGA WARISAN UNTUK ANAK CUCU

Tiga Kg Karet Tak Bisa Membeli 1 Kg Beras

Riau | Jumat, 01 Maret 2019 - 08:56 WIB

 Tiga Kg Karet Tak Bisa Membeli 1 Kg Beras
MENUMPANG PERAHU: Foto kiri, tiga pelajar menumpang perahu pergi ke sekolah dari Gajah Bertalut menuju Aur Kuning menyusuri Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu. Foto kanan, seorang ibu menggendong karet dari bukit, beberapa hari lalu.

Tapi hal itu tetap harus dilakukan karena perut harus tetap diisi, listrik harus tetap dibayar, biaya sekolah anak. Lebih-lebih kalau ada yang bersekolah di Gema dan Lipat Kain. Tak jarang makan seadanya demi bisa mengirimi uang kos dan biaya pendidikan. Uang Rp60 ribu itulah yang harus dibagi.

Keluhan Limas yang duduk bersama tetangganya yang sehari-hari membantu suaminya menakik tidak berhenti sampai di situ, tentang harga cabai yang selalu Rp5.000 sampai Rp6.000 per ons, beras yang rata-rata Rp14.000 sampai Rp15.000 dan gas Rp35 ribu membuat mereka harus terus berhemat dan mencari akal agar tetap bertahan.

Baca Juga :Gubri Syamsuar dan Istri Promosi Batik Riau

“Apa lagi saat ini, 3 kilogram karet tak mampu membeli 1 kg beras,” ucapnya saling memandang.

Biasanya ada perahu yang datang membawa barang dagangan. Di sanalah sebagian warga belanja barang keperluan sehari-sehari, berupa sayuran dan ikan. Sebagian warga lebih memilih belanja ke Gema setiap Kamis, karena di sana ada pekan. Untung saja di hutan banyak kayu bakar, sehingga gas digunakan hanya seperlunya. Sementara listrik dari pembangkit listrik desa tenaga surya, warga hanya perlu membayar Rp20 ribu per bulan. Untuk listrik, kalau cuaca bagus atau panas terik, bisa hidup seharian dan semalaman, namun jika tidak, listrik hanya hidup selama empat jam, dari pukul 18.00 WIB sampai 22.00 WIB.  

“Situasi ini juga mempersulit kami para ibu rumah tangga. Sangat jarang menyetrika baju. Baju yang disetrika paling hanya baju sekolah anak,” ungkapnya lirih.

Untuk bisa berkomunikasi dengan dunia luar, desa menyediakan wifi. Wifi aktif mulai pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB, atau hanya dua jam. Selama dua jam itu, warga yang perlu dan ingin berinteraksi dengan anak, saudara, adik, dan yang ada di luar sana akan berkumpul di halaman kantor desa. Meski tidak lancar jaringan internetnya, namun warga tetap bersemangat. Tidak jarang, berkabarnya malam itu, baru akan sampai malam berikutnya. Tapi warga tetap optimis dan terus melakukan komunikasi.

Tidak hanya sampai di situ, jika ada hal yang sangat mendesak, untuk memberi kabar warga bisa ke bukit terdekat. Untuk bisa sampai ke bukit perlu perjuangan ekstra. Karena bukit tidaklah landai, tapi sedikit curam. Jarak dari desa sekitar 1 km. Sedangkan perjalanan untuk sampai ke puncak bukit sekitar 300 meter dari titik terbawah bukit.

Bagi yang tidak terbiasa mendaki bukit, tentu akan menyerah, karena napas akan tersengal-sengal dan kaki terasa lumpuh. Hanya keinginan kuat untuk menelepon yang bisa sampai ke puncak bukit. Perjuangan tidak berhenti di situ. Menunggu ada sinyal, ponsel jangan dipegang, cukup meletakkannya di beberapa batang kayu yang dipancangkan warga di tanah sepanjang 30 sampai 50 cm. Ponsel ditempelkan di batang kayu itu. Jika sudah seperti itu, secara perlahan sinyal akan terlihat satu sampai dua garis. Namun, satu hal yang sangat menggembirakan, di sini air mengalir tidak hanya di sungai tapi dari gunung. Pemerintah desa sudah mengalirkan air gunung yang bersih dan jernih ke rumah-rumah. Sehingga kapan pun air tetap ada karena tetap mengalir sepanjang hari.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook