"Ya sudah tugas pokok kami menjaga dan melestarikan lingkungan hidup termasuk satwa liar di dalamnya," ujar Hartono.
Menanggapi apa saja antara WWF Indonesia di Riau dengan BBKSDA yang terdampak akibat pemutusan kontrak kerja sama tersebut, menurut Hartono di antaranya adalah program konservasi harimau sumatra di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Menurutnya, meskipun tanpa WWF, kerja-kerja yang sudah ada tetap dilakukan karena BBKSDA sendiri juga punya mitra kerja sama lain yang mendukung program konservasi di Riau.
Meski tidak menyebut nama mitra kerja, Pelaksana Harian Kepala BBKSDA Riau Hartono mengatakan bahwa sebagai pengelola kawasan BBKSDA tetap melaksanakan program ini.
"Karena kerja sama sudah berakhir, kegiatan bersama WWF tidak dilaksanakan lagi. Akan tetapi kami tetap melakukan program tersebut di kawasan kami di provinsi kami sesuai tugas pokok dan fungsi kami," ujarnya.
Bagaimana BBKSDA melaksanakan kerja itu tanpa WWF? Menurutnya sebagai pengelola kawasan, program yang dilaksanakan adalah mewujudkan visi pengelolaan kawasan konservasi, yang tertuang dalam rencana pengelolaan jangka panjang yang telah ditetapkan.
"Konservasi harimau sumatra salah satu bagian dari arah pengelolaan kawasan ini, sehingga ada tidak ada kerja sama, kami tetap melaksanakan program ini," ujarnya.
Salah satu yang terdampak pemutusan kerja sama dengan WWF adalah kerja sama konservasi gajah sumatra. Apakah masih berlanjut? Bagaimana BBKSA mengelolanya tanpa mitra?
"Sekali lagi kami sampaikan tusi pengelolaan ini harus tetap kami lakukan ada tidak ada mitra. Kalaupun ada mitra yang bersedia membuka untuk bersama sama mengelola, tentu kami sangat terbuka dan akan berbagi peran dengan tetap sesuai rambu-rambu aturan yang berlaku," ujarnya.
Menanggapi bagaimana nasib flying squad di Minas dan TNTN pasca-WWF, Hartono mengatakan tidak ada masalah. Menurutnya terkait pengelolaan FS di TNTN sudah menjadi bagian pengelolaan TNTN oleh Balai TNTN. Juga soal apakah jasa mahout (pawang gajah) masih digunakan, menurutnya tetap berjalan seperti biasa.
Apakah fasilitas yang diterima para mahout, gaji, tunjangan, rumah termasuk status mereka berubah terkena dampak putusnya kerja sama dengan WWF tersebut? Menurut Hartono, semua tetap berjalan sebagaimana biasa.
"Status mahout ada dua. Ada yang PNS dan ada tenaga kontrak. Segala sesuatu hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku," ujarnya.
Pemerintah Dinilai Keteteran di TNTN
Putusnya kerja sama antara Kementerian LHK dengan WWF sejak 2020 lalu turut jadi perhatian nongovernment organization (NGO) lain seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan menyadari penyelamatan kawasan konservasi merupakan tanggung jawab negara sebagai mandat undang-undang. Namun melihat keterbatasan sumber daya pemerintah dalam menjaga dan mengelola kawasan konservasi, diperlukan upaya kerja sama bersama pihak-pihak luar. Termasuk keterlibatan masyarakat sipil.
"Pemerintah harus terbuka dan memastikan kepastian hukum untuk pihak-pihak yang mau membantu pemerintah dalam menjaga kawasan konservasi. Ini harus dilakukan dengan menganut nilai-nilai kesetaraan dan terbuka sesuai dengan Undang-Undang kita," ujar Riko kepada Riau Pos, Jumat (24/9).
Dikatakan Riko, setelah kerja sama dengan WWF berakhir, otomatis pemerintah harus kerja ekstra keras membenahi keadaan. Menurut pandangan Riko, pemerintah sangat keteteran. Khusus untuk kasus kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) setelah pemerintah memutus kerja sama dengan WWF, justru menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Dia tidak melihat ada kemajuan berarti terkait pemulihan dan perlindungan kawasan konservasi di sana.
"Harapan kami, pemerintah harus melihat kondisi ini. Mereview kembali seperti apa kerja sama saling menguntungkan di masa depan untuk penyelamatan kawasan konservasi," ujar Riko.
Bagaimana halnya dengan Walhi? Riko menyebut, pihaknya tidak punya kerja sama dengan pemerintah seperti halnya WWF selama ini.
"Walhi tidak ada kerja sama dengan pemerintah. Mandat kami adalah masyarakat yang termarginalkan dan lingkungan," ujar Riko.
WWF Dinilai Masih Diperlukan
Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI Dr Elviriadi SPi MSi menyebut, diduga ada kampanye internasional WWF yang memburuk-burukkan cara penanganan lingkungan di Indonesia. Hal ini membuat Menteri LHK Siti Nurbaya tersinggung dan akhirnya memutuskan kontrak dengan WWF. Menurutnya, setelah sekian lama, hal ini harus dievaluasi oleh kedua pihak.
"Saya melihat kejadian ini harus dievaluasi kedua belah pihak. WWF harus lebih ‘meng-Indonesia’ dengan melaporkan kegiatan kegiatannya secara berkala ke KLHK. Sewajarnya WWF mematuhi dan memahami kontrak kerja yang tertuang,’’ kata Elviriadi.
Apalagi katanya, pengembangan donasi luar negeri dan domestik jika termaktub dalam butir kesepakatan kedua belah pihak harus dikoordinasikan terlebih dahulu. Bisa jadi pemerintah punya kriteria tertentu dalam fund rising atau pendonor dalam ekologi politik internasional. Terlepas dari itu, kata Ketua Majelis LH Muhammadiyah Riau tersebut, sebaiknya KLHK memberikan "warning" atau kalau perlu teguran keras sebelum memutuskan sebuah kerja sama. Apakah itu sudah dilakukan? Baik secara halus maupun hard communication? Sepertinya tidak.
"Saya menyayangkan bila kerja-kerja krusial dan rumit yang selama ini di-support WWF tiba tiba berakhir tanpa bekas,’’ jelasnya.
Diakuinya, Indonesia saat ini sedang di gerbang krisis ekologi multidimensi. Hilangnya keanekaragaman hayati, plasma nuftah, tanaman endemik, satwa langka dilindungi seperti badak dan orang utan yang sedang diurus WWF itu sangat krusial. Makanya tidak bisa dinegasikan begitu saja.
"Sehingga sebenarnya Indonesia masih memerlukan WWF, dengan kepedulian, fokus dan expertise yang dimiliki mereka," ujarnya.
Sumber daya manusia yang menangani lingkungan alam, konservasi sangat kurang di tanah air. Lebih-lebih keterampilan khusus pada fauna dan satwa langka dilindungi. Begitu juga soal anggaran, masih minim dibandingkan luas hamparan hutan-tanah Indonesia.
"Oleh karena itu, tak ada salahnya WWF dan KLHK berlapang dada. WWF harus mau mengakui apa yang disampaikan KLHK lalu berjanji mengubah pola kerjanya. Dan KLHK memberi maaf dan kesempatan sekali lagi demi nasib masa depan alam lingkungan, masyarakat adat, dan penyelamatan manusia di planet Bumi,’’ katanya.
Alasan Putus Kontrak Masih Absurd
Informasi yang diperoleh Riau Pos, setidaknya ada empat alasan yang disampaikan Kementerian LHK terkait pemutusan kontrak yang diteken 1998 dan seharusnya berakhir 2023 itu. Empat alasan itu adalah, pertama, pelaksanaan kerja sama bidang konservasi dan kehutanan dengan dasar Perjanjian Kerja Sama telah diperluas ruang lingkupnya oleh Yayasan WWF Indonesia (Dinilai diperluas sepihak oleh KLHK).
Kedua, KLHK menilai kegiatan WWF Indonesia dalam bidang perubahan iklim, penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan serta pengelolaan sampah di lapangan, tidak memiliki dasar hukum kerja sama yang sah.
Ketiga, KLHK menyebut WWF Indonesia telah melakukan pelanggaran prinsip kerja sama. KLHK pun menilai WWF Indonesia melakukan klaim sepihak terkait fakta di lapangan.
Keempat, ada pelanggaran terhadap substansi perjanjian kerja sama, antara lain melalui kampanye media sosial dan publikasi laporan yang tak sesuai fakta, yang dilakukan oleh Yayasan WWF Indonesia.
Atas empat alasan itulah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Nomor SK.32/Menlhk/Setjen/KUM.1/1/2020 tertanggal 10 Januari 2020.
Program Manager Central Sumatra WWF Indonesia Dede Hendra Setiawan yang dikonfirmasi terkait kerja sama yang diputus KLHK ini tidak bersedia menyampaikan langsung tanggapannya perihal ini. Termasuk apa saja kontrak kerja sama WWF Indonesia di Riau yang jadi bagian kewenangannya. Dari pembicaraan telepon, dia mengarahkan pertanyaan via surat elektronik (email) dengan daftar pertanyaan. Tapi tidak satu pun dari sepuluh poin pertanyaan Riau Pos yang kemudian dijawabnya. Termasuk berbagai program WWF Riau saat ini. Dia mengarahkan untuk mengutip saja website resmi WWF Riau dan WWF Indonesia.
"Mohon maaf Pak dan mohon dimaklumi kondisinya saat ini begitu yang bisa saya respon. Hal ini juga sesuai dengan arahan dari Jakarta," tulis Dede.
Tanggapan resmi WWF Indonesia pernah disampaikan Ketua Badan Pembina WWF Indonesia Kuntoro Mangkusubroto. Dalam tanggapan yang disampaikan mantan Menteri Pertambangan dan Energi itu, ada poin-poin "balasan" kepada KLHK. Poin pertama, WWF Indonesia sesuai perjanjian kerja sama 1998 sudah tak relevan pada kondisi saat ini, misalnya terkait perubahan nomenklatur KLHK. Secara aturan perundangan, sebut WWF, perkembangan program kerja mereka tak keluar dari lingkup perjanjian kerja sama.
Kedua, soal kegiatan yang tak punya dasar hukum sah, WWF menyebut, sebagai organisasi lingkungan hidup yang memiliki anggaran dasar dan kegiatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, berhak melakukan upaya terkait perlindungan lingkungan. Termasuk, isu perubahan iklim dan sampah.
Ketiga, mengenai pelanggaran prinsip kerja sama, WWF menyatakan, tak pernah melakukan pelanggaran prinsip kerja sama dan perlanggaran kerja lapangan berdasarkan rekam jejak selama bekerja sama di tingkat tapak dengan unit pelaksana kerja KLHK.
Poin keempat, soal ada pelanggaran substansi, WWF menerima masukan atas gaya komunikasi dan sudah mereka sampaikan melalui berbagai korespondensi. Namun, sebut WWF, mereka melaporkan berdasarkan fakta dan data akurat dari lapangan sebagai bagian dari tanggung jawab, akuntabilitas, dan transparansi kepada publik.
Hingga Rabu (29/9), Riau Pos mencoba mengkonfirmasi pihak WWF Indonesia di Jakarta terkait perkembangan terkini setelah dua tahun lalu putus kontrak. Tapi tidak ada tanggapan yang memadai. Publik Campaign Specialist WWF Indonesia, Margareth Mutia saat berbincang dengan Riau Pos melalui WhatsApp menyatakan pihaknya belum mau berkomentar terkait itu.
Menurut Margareth, belum saatnya mereka menjawab apa yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, mereka meminta masyarakat bersabar bagaimana kelanjutannya. Selain itu, dia juga menyarankan masyarakat untuk mengikuti kegiatan apa saja yang dilakukan oleh WWF Indonesia melalui beberapa media sosial dan website resmi mereka.
Tim redaksi Riau Pos juga berulang kali mengkonfirmasi pihak KLHK. Beberapa petinggi KLHK seperti Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono dan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Pemberitaan KLHK, Nunuk termasuk Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar saat dihubungi melalui saluran telepon tidak merespons. Begitu juga saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, hanya dibaca namun tidak dibalas. Riau Pos kembali mencoba melakukan upaya konfirmasi, namun hasilnya tetap nihil.(muh/fiz/ted/eca/yus)