WWF Kena "Smackdown", Nasib Gajah Dipertaruhkan

Riau | Sabtu, 02 Oktober 2021 - 13:57 WIB

WWF Kena "Smackdown", Nasib Gajah Dipertaruhkan
Cover halaman 1 koran Riau Pos. (DOK.RIAUPOS.CO)

PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) - SEMAK menutupi jalan. Becek dan berlumpur dengan lubang yang menganga. Itu adalah kondisi jalan masuk ke area base camp Flying Squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Agustus 2021 lalu.

Kondisi base camp lebih baik. Di base camp ini terdapat sembilan ekor gajah jinak yang diasuh para mahout. Mereka merupakan eks mahout di era World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia yang dilimpahkan ke Balai TNTN. Jumlahnya sepuluh orang. Mereka adalah Ruswanto, Erwin Daulay, Fikri Pohan, Junjung Daulay, Adrianto, Tengku Asril, Sari Tua, Herianto, Rozi Nurbit, dan Bagus Prayudi. Ada penambahan dan pengurangan. Tapi totalnya kini bertambah tiga mahout lagi menjadi 13 orang. Terjadi  fluktuasi jumlah mahout karena ada yang keluar dan masuk. Berbagai sebab keluar jadi alasan. Salah satunya soal pendapatan. Ada juga yang kemudian menjadi PNS dan ditempatkan di TNTN.


Satu gajah biasanya diasuh dua mahout. Tidak termasuk bayi gajah yang berarti juga mengasuh induknya. Misalnya Tengku Asril, yang ketika itu mengasuh dua gajah sekaligus yakni Lisa dan anak bayinya, Riyu yang baru berumur tujuh bulan. Pagi jelang siang itu,


Tengku Asril memandikan induk gajah bernama Lisa. Anaknya Riyu ikut mandi mengikuti sang induk di sebuah telaga seukuran lapangan voli di samping base camp TNTN itu. Memandikan gajah merupakan salah satu kewajiban para mahout terhadap gajah. Tiap hari mereka harus dimandikan. Sebab, gajah tak memiliki pori-pori sehingga tubuhnya cepat panas. Akan mengganggu metabolisme tubuhnya jika tidak mandi.

Setelah mandi, gajah perlu "digembalakan". Mereka harus dibawa ke alam liar untuk mencari makanan. Gajah-gajah TNTN memang tidak seperti gajah di kebun binatang yang perlu diberi makan setiap hari. Kecuali jika ada tamu datang seperti hari itu, saat beberapa siswa, mahasiswa, dan wartawan memang berkunjung ke base camp Flying Squad TNTN. Para gajah di sini hari itu lumayan mendapatkan kemewahan karena disediakan aneka buah-buahan seperti semangka dan mangga.

Pada hari biasa, para mahout harus menjelajah hutan, bukan hanya untuk berpatroli, tapi juga untuk mencari makanan. Di alam liar, gajah tidak hanya memakan satu jenis makanan. Mereka harus berganti-ganti asupan makanan tumbuhan, sehingga gajah-gajah memiliki wilayah jelajah yang luas. Wilayah jelajah atau home range gajah saat ini memang tidak lagi seleluasa sebelum hutan terputus oleh perkebunan sawit. Makanya di beberapa wilayah lainnya, gajah  sudah kesulitan mendapatkan makanan alami dan terpaksa tergantung pada makanan yang disediakan manusia.

Misalnya di wilayah Trumon Aceh, yang gajah-gajah jinaknya sudah memiliki kebiasaan berbeda. Jika sebelumnya makanan gajah lebih banyak disediakan dari buah-buahan, maka diakibatkan kurangnya anggaran sejak dua tahun terakhir, gajah di sana mulai "kelaparan" dan harus mencari makan ke hutan yang jauh. Para mahout di sana dihadapkan dengan masalah kekurangan asupan makanan gajah karena mereka tidak memiliki dana operasional yang cukup. Selain akibat putus kontrak dengan WWF, para donatur juga berkurang, bahkan nyaris berhenti total akibat pandemi Covid-19. Gajah-gajah di sana mulai kurang gizi akibat anggaran makanan yang berbeda. Termasuk para mahoutnya yang dipastikan berkurang gizi harian untuk mereka dan keluarga.

Kondisi yang nyaris sama terjadi di TNTN. Selain gaji yang berkurang drastis sejak putus kontrak dengan WWF, para mahout TNTN juga harus bekerja lebih ekstra memberi makan untuk para gajah. Bedanya, gajah jinak di TNTN tidak dibiasakan "makan enak", yakni buah-buahan segar. Mereka sudah terbiasa dibawa mahoutnya masuk ke hutan untuk mencari makanan alami. Hanya dalam kondisi tertentu, misalnya ada tamu, atau ada pelatihan khusus, para gajah diberikan buah manis yang mereka inginkan.

Kendati tugas masih tetap, bahkan relatif lebih berat, dalam dua tahun terakhir, penghasilan para mahout telah menurun drastis. Informasi yang didapat Riau Pos, di masa bersama WWF, mereka mendapatkan penghasilan Rp7 juta per bulan. Belum termasuk berbagai fasilitas lainnya. Sedangkan saat ini, mereka hanya mendapatkan Rp2,7 juta per bulan. Mereka juga dihargai sebagai profesional di masa lalu. Tapi saat ini, setelah alih kelola, sebagian besar mereka berstatus tenaga harian lepas (THL) alias tenaga kontrak.

Selain ada yang THL, memang ada juga yang berstatus PNS. Jika sudah PNS, tentu penghasilan mereka sudah cukup memadai, sesuai standar PNS. Tapi yang THL tentu saja berbeda, sama dengan THL lainnya seperti petugas kebersihan. Ironisnya, sebagian mereka yang masih THL merupakan mahout senior. Tentu dengan beban keluarga yang lebih besar. Anak yang sudah besar, mulai kuliah, hingga keperluan rumah tangga yang makin besar pula. Malah para mahout baru yang berkesempatan menjadi PNS.

Mahout senior TNTN Erwin Daulay yang dikonfirmasi terkait ini hanya tersenyum getir. Dia termasuk mahout yang berstatus THL. Tapi dia menolak menyampaikan perihal itu secara detil.

"Jangan dari saya Bang!" ujar Eko, panggilan akrabnya.

Dia hanya bersedia menyampaikan soal bagaimana berinteraksi dengan gajah. Menurutnya, ini adalah pengabdian dan kecintaan pada profesi. Makanya, kendati sudah beda pendapatan, mereka tetap tekun menggembalakan para gajah ini. Dia pun belum tertarik pada profesi lainnya.

Gajah merupakan salah satu penghuni TNTN. Terdapat 140 hingga 200 gajah hasil identifikasi pada 2015. Saat ini teridentifikasi hanya 60-80 individu gajah. Terdapat banyak konflik di sekitar wilayah ini karena kawasan yang dulunya hutan telah berubah menjadi perkebunan sawit. Wilayah jelajah gajah jadi terganggu. Akibatnya, konflik antara gajah dan manusia tak terhindari. Salah satu solusinya adalah flying squad atau personel udara karena para mahout atau pawang gajah seakan melayang di atas leher gajah. Gajah-gajah jinak ini berfungsi mengusir gajah liar kembali ke hutan alam jika mereka mulai berkonflik dengan masyarakat.

Di TNTN, terdapat sedikitnya 360 jenis flora, 107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil dan 3 jenis primata. Ekosistemnya termasuk hutan hujan tropika yang menjadi kawasan perlindungan gajah.

Kepala Balai TNTN Tegaskan Operasional Tak Terkendala

Kepala Balai TNTN, Heru Sukmantoro S Hut MM ketika dimintai tanggapannya soal putus kontrak WWF dan Kemen LHK ini hanya berkomentar ringan. Dia menyebut, tentu ada konsekuensi jika ada lembaga yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya. Namun dia tak menyebut rinci soal itu.

Soal flying squad dan fasilitas yang diterima para mahout, gaji, tunjangan, rumah, dan status mereka yang terdampak akibat pemutusan kontrak dengan WWF itu, Heru mengatakan bahwa secara umum semua berjalan seperti biasa. Dengan kata lain, tidak ada kendala kegiatan pasca-WWF. Termasuk soal fasilitas yang diterima mahout.

"Alhamdulillah, keberadaan gajah di flying squad terkelola dengan baik. Terkait mahout, masih eksis untuk mengelola gajah tersebut dengan anggaran yang terakomodasi dalam APBN," ujarnya.

Saat ditanya lebih lanjut soal besaran gaji mahout, apakah benar menurun atau tidak, Heru mengatakan bahwa semua sesuai dengan apa yang telah dianggarkan APBN.

"Status mahout ada dua. Ada yang PNS dan tenaga kontrak. Segala sesuatu hak dan kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku," ujarnya.

Heru menyebut, secara umum Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo memiliki dua unit guest house yang berada di dalam area camp flying squad. Setiap guest house memiliki  dua unit kamar tidur (kapasitas 4 orang) dan dua kamar mandi. Lokasi guest house ini sangat strategis karena berada di pusat aktivitas mahout dan berdekatan dengan Pusat Informasi Flying Squad, balai pertemuan, mess mahout, menara pantau (± 200 meter ) dan trek spesial perbekalan.

Selain itu juga ada balai pertemuan dan saung yang berada di area camp flying squad. Balai pertemuan ini bisa digunakan sebagai tempat diskusi, kegiatan pelatihan dan pendidikan dengan kapasitas sekitar 50 orang. Sedangkan, untuk diskusi dalam kelompok kecil (5 – 8 orang) dapat menggunakan saung yang dapat digunakan juga sebagai tempat beristirahat. Ia juga menambahkan bahwa areal perkemahan tersedia untuk kegiatan pendidikan lingkungan, seperti kemah konservasi, kemsa (kemah bersama), school visit dan menjadi alternatif bagi wisatawan yang lebih menyukai suasana alam terbuka tanpa bangunan di area TNTN.

Saat ditanya apakah pascaputus kontrak dengan WWF pengelolaan kurang maksimal, Heru mengatakan pengelolaan tetap berjalan seperti biasa.

"Jadi kita tak bergantung pada mitra juga karena apa yang jadi tupoksi kita tetap kita lakukan sehingga pengelolaan tetap berjalan," ujarnya.

Menanggapi apakah ada mitra lain yang membantu proyek lapangan pasca-WWF, Heru mengatakan mitra mereka adalah Yayasan TNTN.

"Mereka juga mitra yang biasa melakukan kerja-kerja lapangan," ujarnya.

BBKSDA Tegaskan Pelestarian Lingkungan Hidup Tetap Berjalan

Pemutusan hubungan kerja sama WWF Indonesia oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lewat surat tertanggal 10 Januari 2020 tetap menyisakan tanda tanya. Sejak awal perjanjian kerja sama itu, ada 130 proyek WWF Indonesia  berkaitan konservasi dan pelestarian lingkungan. Kini, ada sekitar 19 persen atau 30 proyek di Aceh sampai Papua, terdampak keputusan ini. Bagaimana nasib program-program konservasi satwa liar yang ada di Indonesia umumnya dan Riau khususnya?

Pelaksana harian Kepala BBKSDA Riau, Hartono kepada Riau Pos mengatakan bahwa upaya pelestarian lingkungan dan termasuk satwa liar akan terus dilaksanakan pascaterputusnya hubungan kontrak kerja sama dengan WWF tersebut.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook