Perjuangan sang Perempuan Api

Riau | Sabtu, 17 Agustus 2019 - 09:35 WIB

Perjuangan sang Perempuan Api
Ilustrasi: Aidil adri Foto: M.AKHWAN

Sudah 74 tahun  kita merdeka. Tapi, bukan berarti perjua­ngan berhenti. Masih ada musuh lain yang harus dilawan. Perjuangan melawan asap belum bisa diakhiri. Riau belum merdeka dari kabut asap. Riau masih dijajah oleh pembakar lahan. Pahlawan asap pun tak tinggal diam. Di saat yang lain mengeluh, mereka berpeluh-peluh. Di saat yang lain mengaduh, mereka dipeluk oleh jerebu. Satu di antaranya adalah Masitoh Hasibuan. Sang Perempuan Api, dari Manggala Agni.

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Wajahnya menghitam. Tangannya berupaya keras untuk tetap memegang selang pemadam. Tekanan air yang laju ditambah beratnya selang, membuatnya harus mengerahkan seluruh tenaga. Berbalut baju kerja yang panas, sepintas, Masitoh (33) tak beda dari rekan-rekan Manggala Agni lainnya.

Sejak 2007 lalu, wanita berhijab ini tergabung dalam Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan atau yang biasa dikenal dengan Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Pekanbaru. Sejak itu pula, Sarjana Kehutanan ini menjadi ‘’perempuan api’’. Bersama timnya, dia harus siap turun ke lapangan. Kapanpun si jago merah mulai menampakkan diri di hutan dan lahan.


Ia adalah satu-satunya perempuan dari Manggala Agni yang rutin turun memadamkan api, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di area Pekanbaru. Meski the one and only, itu tak membuatnya merasa berbeda. Dirinya pun tak mengharapkan perlakuan berbeda atau istimewa. Apa yang dikerjakan oleh rekan-rekan lelakinya di lapangan, turut pula ia kerjakan. Termasuk memadamkan api di tengah hutan.

"Sejak awal bergabung dengan Manggala Agni, saya sudah tahu bahwa turun memadam api adalah tupoksi saya. Jadi, saya nggak masalah jika kini tugas itu harus saya kerjakan.  Kapan pun diperlukan, saya siap," ujarnya.

Memiliki jiwa petualangan sedari dulu, membuat wanita kelahiran Pasar Binanga, Sumatera Utara ini enjoy menjalani tugasnya sebagai anggota Manggala Agni. Saat ada penugasan pemadaman, dengan sigap, Masitoh bersiap. Mengenakan seragam pemadam  lengkap yang terbilang berat bagi seorang perempuan, ia bergerak bersama tim menuju titik api. Tanpa rasa takut, ia mengendarai sendiri motor dinas berjenis trail ke lokasi kebakaran. Jika titik koordinat kebakaran jauh ke dalam hutan, mau tidak mau, mereka bersama-sama membawa perlengkapan pemadam hingga sampai tujuan.

Tangan Masitoh pun tak ketinggalan menggotong peralatan pemadaman.  Selang-selang dan mesin pemadam itu bukannya ringan. Terlebih jarak yang ditempuh sampai dua km. Bahkan lebih. Dengan trek yang upnormal pula. Capek? Letih? Panas? Anehnya itu tidak dirasakan oleh Masitoh. Bukannya sok kuat, sok tegar. Tapi dedikasinya dalam bekerja, membuatnya lupa akan hal tersebut.

"Panas menjadi sejuk karena kebersamaan saat memadam api di lapangan. Lelah berganti semangat melihat kekompakan teman-teman di lapangan," katanya diiringi dengan senyum.

Cedera saat melakukan pemadaman pun sudah jadi hal biasa bagi seorang Manggala Agni seperti dirinya. Bahkan, ia dan teman-teman pernah hampir kehilangan nyawa demi memadamkan api.

Tepatnya saat karhutla 2015 lalu. Itu bukan pengalaman pertama Masitoh memadam api. Akan tetapi, pengalaman itu memiliki kesan yang mendalam. Jika diingat, asap pada tahun 2015 memang luar biasa. Saat itu, Masitoh bersama tim Manggala Agni berjibaku menyiram titik-titik api agar tak meluas.

Namun, di tengah perjuangan, tiba-tiba arah angin berbalik. Api pun mengejar ke arah mereka. Masitoh bersama rekannya masih berupaya menyelamatkan selang agar tak terbakar. Aksi itu hampir saja membuat mereka kehilangan nyawa.

"Kepala operasi kami berteriak agar kami segera menyelamatkan diri ketimbang menyelamatkan selang. Untung teriakan di tengah keributan tersebut bisa kami dengar. Terlambat sedikit saja, nyawa bisa jadi taruhannya," kenangnya.

Kini, di saat karhutla Riau kembali "say hallo", Masitoh dan teman-teman pun berusaha membuatnya say good bye. Titik-titik api di Pekanbaru terus dipantau. Ganasnya api terus berusaha mereka jinakkan. Dari pagi, ia sudah bersiap untuk turun ke titik api. Biasanya ia mulai dari pukul 10.00 WIB. Pada pukul 12.00 ia rehat sejenak untuk sekadar makan dan salat. Jangan bayangkan ia duduk di meja makan dan salat di atas sajadah empuk.

"Syukur-syukur kalau di sekitar sana ada rumah warga. Bisalah kami menumpang. Tapi kalau tidak, ya kita cari posisi aman saja. Biasanya di semak-semak yang bersih. Kami bentanglah tikar di sana," ceritanya yang tinggal di wilayah Palas ini.

Agar kebakaran tidak melebar, istirahat pun tak boleh lama. Hanya sekitar satu jam saja, ia bersama tim kemudian lanjut berperang bersenjatakan selang air. Musuhnya ya masih sama. Si api tadi. Jika sampai sore api tak padam, alamatlah ia tetap berdiri, sembari terus menyemprot air ke arah api.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook