Dalam konteks partai politik yang sekarang sedang menyeleksi caleg, tidak cukup hanya ketiga nilai itu, karena untuk menjadi caleg harus memiliki minimal lima modal dasar untuk menggapai kursi parlemen.
Pertama, popularitas (terkait dengan tingkat pengenalan masyarakat terhadap calon). Kedua, elektabilitas (keinginan masyarakat untuk memilih calon). Ketiga, moralitas dan integritas (terkait perilaku dan kejujuran yang ditunjukkan calon). Keempat, dana kampanye (kemampuan keuangan calon untuk memobilisasi dukungan). Kelima, mesin partai politik dan tim sukses caleg (dukungan organisasi untuk memobilisasi dukungan).
Dalam setiap musim pemilu, animo dan respon masyarakat dipastikan meningkat melamar menjadi bacaleg (bakal caleg), tanpa mempertimbangkan lagi kemampuan yang dimiliki. Setiap orang merasa mampu dan layak untuk tampil, karena persyaratan administrasinya sangat gampang. Terlebih pada Pemilu 2019 ada 16 partai politik yang siap bersaing. Maka hampir setiap orang punya peluang untuk menjadi caleg.
Maka jangan heran jikalau ada parpol jumlah bacalegnya sudah melebihi kuota 100 persen. Tetapi jangan kaget jika ada parpol yang masih pontang panting untuk sekedar menggenapi kuota di sejumlah daerah pemilihan (DP). Kabarnya malahan ada parpol karena kekurangan caleg terpaksa mencari orang lalu diberikan imbalan uang dan barang, semua persyaratan diuruskan partai, asal mau jadi caleg di partainya.
Membludaknya caleg, disatu sisi mengisyaratkan perkembangan demokrasi dengan banyaknya rakyat ingin berpartisipasi memberi kontribusi membangun bangsanya. Namun di sisi lain menjadi persoalan kalau antusiasme begitu besar itu berbanding terbalik dengan rendahnya tingkat kualitas caleg.
Banyak kejadian yang unik dan menarik setiap musim pemilu. Rekrutmen parpol yang asal comot menjadi dagelan (lawakan) yang menggelikan. Betapa banyak orang awam politik demi menggenapi kuota caleg atau tersebab bisikan memabukkan nyemplung ke dunia penuh intrik. Rasa menyesal setelah pasca pemilu mendera batin. Karena merasa malu tidak terpilih menjadi beban mental berkepanjangan.
Parpol juga ikut andil menambah persoalan, karena rekruitmen partai politik mengabaikan profesionalitas dimana pemilihan atau penempatan orang tidak disesuaikan dengan kemampuan, keahliannya. Mengabaikan sistem kemampuan dengan lebih mengedepankan sistem relasi atau transaksi dalam rekrutmen caleg.
Maka akan menjadi pemicu utama terjadinya inflasi politisi di negeri ini. Suatu kondisi di mana jumlah kuantitas politisi jauh lebih banyak dari kebutuhan, sementara secara kualitas tidak dirasakan langsung oleh rakyat. Setiap menjelang pemilu hampir bisa dipastikan akan bermunculan ribuan politisi baru yang akan bertarung memperebutkan kursi di parlemen.
Berdasarkan data pada Pemilu 2014, bila setiap partai politik dari 12 peserta memaksimalkan pengisian calon anggota DPR di 77 daerah pemilihan, terdapat 6.720 caleg yang berkompetisi menuju Senayan. Bila digabung dengan jumlah caleg DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, setiap parpol menyiapkan sekitar 20.000 caleg. Untuk 12 parpol saja, diperlukan 240.000 orang tokoh untuk menjadi caleg. Sementara KPU (Komisi Pemilihan Umum) menyatakan Pemilu 2014 hanya menghasilkan sebanyak 20.257 anggota dewan.
Data ini menunjukkan bahwa 20.257 kursi parlemen yang tersedia di seluruh Indonesia pada Pemilu 2014 diperebutkan tidak kurang dari 240.000 orang. Dapat dibayangkan berapa banyak jumlah selisih antara keperluan dengan peminat.
Apakah pada Pemilu 2014 anda termasuk dari ribuan caleg yang terlibat dalam pertempuran? Jika demikan anda sudah tahu seluk-beluk sulitnya medan perang. Dan bagi anda caleg yang baru mencoba, maka dapat dipastikan anda memiliki semangat lebih kuat .
Kenapa? Karena dua alasan yakni pertama, baru mencoba, kedua masih buta medan sehingga punya modal tekad dan nekad. Mengucapkan selamat bertarung di laga terdahsyat Pemilu 2019, semoga anda-lah pemenangnya, Good Luck!***