PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Dua perkara yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative justice disetujui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Terkabulnya usulan ini setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau melaksanakan Video Conference Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dengan Direktur OHARDA pada Jampidum Kejagung RI Agnes Triani, pada Rabu (12/4/2023).
Dalam Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dihadiri langsung Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau Supardi, Wakajati Riau Hendrizal Husin, dan Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Riau Martinus serta Kasi OHARDA pada Aspidum Kejati Riau Faiz Ahmed Illovi.
Dua perkara yang diusulkan itu, salah satunya tersangka atas nama Surono yang dijerat pidana sesuai Pasal 480 Ayat 1 KUHP atau penadah. Surono yang ditetapkan tersangka karena membeli ponsel curian, diajukan penghentian perkaranya oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkalis.
Kemudian satu perkara lagi dengan tersangka Rosyadi atas tindak pidana penganiayaan sesuai Pasal 351 Ayat 1 KUHP. Pengajuan restorative justice ini perkara ini diusulkan Kejari Rokan Hilir.
Kasi Penkum Kejati Riau Bambang Heripurwanto menyebutkan, kedua perkara ini dikabulkan dengan pertimbangan, di antaranya telah memenuhi Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
''Pada prosesnya, korban dan tersangka sudah berdamai, tersangka sudah minta maaf kepada korbam dan korban memaafkan. Kemudian, kedua tersangka ini belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana,'' ungkapnya.
Bambang menyebutkan, kedua tersangka juga hanya dijerat pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Selain itu mereka juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka.
''Selain itu proses perdamaian dilakukan secara sukarela atau tanpa syarat, di mana kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan,'' lanjut Bambang.
Secara khusus, kedua Kejari yang mengajukan penghentian perkara lewat restorative justice ini juga mendapat keyakinan penuh bahwa masyarakat tempatan merespons positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Atas dikabulkannya permohonan tersebut, maka Kajari Rokan Hilir dan Kajari Bengkalis menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2). Hal itu juga sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Laporan: Hendrawan Kariman (Pekanbaru)
Editor: Edwar Yaman