Lili menjelaskan, nominal kompensasi yang diajukan memang bervariasi. Hal itu merujuk pada bukti-bukti yang disertakan dalam pengajuan. Misal, bukti kwitansi pembayaran berobat dan lain-lain yang masih berkaitan dengan dampak kasus terorisme. “Tentu saja bukti yang bisa diyakini hakim,” imbuh dia.
Terpisah, Wakil Ketua Pansus Revisi UU Terorisme Supiadin Aries Saputra menuturkan, ganti rugi untuk korban tindak terorisme juga akan masuk ke dalam undang-undang tersebut. Bahkan korban bom Bali yang terjadi pada 2002 juga bisa mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
”Nanti dalam undang-undang diatur besarannya. Kalau luka ringan berapa, kalau luka berat berapa, kalau tewas berapa. Yang luka kalau tidak salah Rp75 juta,” kata Supiadin usai diskusi di Cikini, Sabtu (19/5).
Kelak dengan berlakunya aturan tersebut tidak diperlakukan lagi putusan pengadilan untuk memberikan kompensasi bagi korban. Tapi, memang klarifikasi korban itu setelah ada rekomendasi dari penyidik dan saksi-saksi di lapangan.
”Kan ada orang bisa mati gara-gara dengar suara bom. Padahal dia tidak di lokasi tapi mendengar dan mendadak mati apa itu tidak diganti?” tambah dia. Tapi, tentu saja harus ada bukti-bukti yang mendukung. Misalnya pagi hari masih sehat lantas kaget dan terkena serangan jantung lalu meninggal. ”Jadi korban itu juga termasuk yang terdampak aksi ledakan bom,” kata dia.
Supiadin optimistis revisi undang-undang itu bisa benar-benar selesai paling lambat pekan kedua Juni. Pansus akan menggelar rapat pada Rabu (23/5) pekan depan dengan wakil dari pemerintah.