PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Sidang lanjutan dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Siak Yan Prana Jaya Indra Rasyid kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (7/6). Seperti sebelumnya, sidang dipimpin Hakim Ketua, Lilin Herlina.
Kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendri Junaidi SH MH dan kawan-kawan menghadirkan 3 saksi dari aparatur sipil negara (ASN) di Bappeda Siak. Yakni Erita, Wan Yunus, dan Ade Kusendang. Selain itu, JPU juga menghadirkan 2 saksi ahli, yaitu Sri Mulyani (auditor) dan Siswo Suyanto (ahli hukum keuangan negara). Dalam keterangannya saksi ahli Sri Mulyani mengatakan, dari hasil audit yang dilakukan didapatkan kerugian negara Rp2,8 miliar.
"Dari hasil audit didapatkan kerugian negara sebesar Rp2,8 miliar. Diperoleh dari ATK (alat tulis kantor, red), pengelolaan makan minum dan pemotongan 10 persen perjalanan dinas ASN di Bappeda Siak," ujarnya.
Hal yang sama juga dijelaskan Siswo Suyanto. Ia mengatakan, pemotongan 10 persen uang perjalanan dinas itu salah satu kerugian negara, yang seharusnya diserahkan 100 persen ke ASN yang melakukan perjalanan dinas tanpa harus dipotong 10 persen.
"Ketika uang tersebut tidak dibayarkan 100 persen atau dipotong, maka di situlah terjadi permasalahannya (disebut kerugian negara)," jelasnya.
Kemudian, dari keterangan saksi yang disampaikan saksi Erita, adanya penyerahan uang kepada terdakwa Yan Prana Jaya sebesar Rp30 juta. Uang tersebut berasal dari pemotongan 10 persen uang perjalanan dinas Rp15 juta dan selisih uang ATK Rp15 juta. Permintaan uang Rp30 juta itu berdasarkan perintah (minta bantu) oleh terdakwa Yan Prana kepada Wan Yunus dan disampaikan kepada Erita dan Ade Kusendang. Sehingga terjadilah penyerahan uang sebesar Rp30 juta ke Yan Prana di dalam mobil di halaman kantor BKD Siak oleh Erita.
Dalam persidangan, Yan Prana membantah keterangan saksi Erita, Ade Kusendang dan Wan Yunus. Ia mengatakan tidak pernah meminta uang atau minta bantu uang kepada Wan Yunus. Setelah mendengarkan semua keterangan-keterangan saksi dan saksi ahli yang dihadirkan JPU didalam persidangan, hakim ketua Lilin Herlina memutuskan sidang akan kembali dilanjutkan pada pekan depan.
Sebagaimana diketahui pada pelaksanaan sidang perdana pada Kamis (18/3) lalu yang dibacakan JPU Himawan AS dan rekan-rekan bahwa terdakwa Yan Prana disebut melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa. Sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut melawan hukum yaitu menggunakan anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Siak TA 2013-TA 2017. Kemudian, mengelola anggaran atas kegiatan pengadaan ATK pada Bapedda Siak TA 2015 sampai TA 2017. Selanjutnya melakukan pengelolaan makan minum pada Bappeda Siak TA 2013 sampai TA 2017 yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sehingga Yan Prana dinilai telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37 (sekitar Rp2,8 miliar).
"Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sehingga telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37," ujar JPU.
Atas perjalanan anggaran dinas 2013-2017, terdakwa disebut melakukan pemotongan anggaran sebesar 10 persen. Realisasi anggaran 2013 sebesar Rp2.757.426.500, anggaran 2014 sebesar Rp4.860.007.800, anggaran 2015 Rp3.518.677.750, anggaran 2016 Rp1.958.718.000, dan anggaran 2017 Rp2.473.280.300. Di mana terdakwa secara bersama sama Donna Fitria, Ade Kusendang dan Erita Diduga melakukan mark-up pada anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Kabupaten Siak Tahun Anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017.
Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat di dalam Surat Pertanggungjawaban (SPJ) perjalanan dinas dipotong sebesar 10 persen uang yang diterima pelaksana kegiatan tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas yang ditandatangani oleh masing-masing pelaksana yang melakukan perjalanan dinas.
Mekanisme pemotongan anggaran perjalanan dinas tersebut adalah setiap pencairan SPPD dilakukan pemotongan 10 persen. Uang itu dikumpulkan dan disimpan Dona Fitria. Setelah dicatat, uang diserahkan kepada Yan Prana secara bertahap sesuai dengan permintaannya.
Atas perbuatannya, Yan Prana dijerat dengan pasal berlapis sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (e), Pasal 12 huruf (f), UU Tipikor, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 10 berisikan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 350.000.000. Sementara di pasal 12 berisikan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.(dof)