PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Selama kurun waktu 10 bulan yakni sejak Januari hingga Oktober 2023, Dinas Kesehatan (Diskes) Riau mencatat sebanyak 1.537 warga Riau yang terkena demam berdarah dengue (DBD). Dari jumlah tersebut, 14 orang di antaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Riau Zainal Arifin mengatakan, dari jumlah kasus DBD tersebut, paling banyak ditemukan di Kota Dumai yakni 450 kasus dan lima di antaranya meninggal Diikuti Kota Pekanbaru dengan 248 kasus tanpa kasus meninggal dunia. Selanjutnya di Indragiri Hilir ada 133 kasus, dengan empat orang di antaranya meninggal dunia.
Diikuti Pelalawan 107 kasus tanpa kasus kematian, Kampar 106 kasus dengan dua orang meninggal dunia, Siak ada 105 kasus dengan dua orang meninggal dunia dan Bengkalis sebanyak 100 kasus. Sementara Kuantan Singingi ada 90 kasus tanpa kasus kematian, Rokan Hilir ada 88 kasus tanpa kasus kematian, Rokan Hulu 86 kasus dengan satu orang meninggal dunia, Indragiri Hulu 20 kasus tanpa kasus kematian, dan Kepulauan Meranti sebanyak 24 kasus tanpa kasus kematian.
Jika dilihat per bulannya, dari data yang dimiliki Diskes, kasus DBD terbanyak terjadi pada Oktober yakni mencapai 218 kasus. Terbanyak kedua pada Januari 200 kasus, kemudian Agustus 188 kasus, September 182 kasus, Juli 158 kasus, Mei 139 kasus, Juni 124 kasus, Februari 123 kasus, Maret 113 kasus, dan April 92 kasus.
Untuk itu, Zainal mengimbau dan mengajak masyakarat untuk mencegah penyebaran penyakit DBD dengan cara kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) mulai dari lingkungan rumah masing-masing. Kegiatan PSN harus difokuskan pada tempat-tempat yang disukai nyamuk aedes aegypti tersebut.
“Kegiatan PSN harus difokuskan pada genangan air yang tidak bersentuhan dengan tanah secara langsung. Seperti misalnya bak kamar mandi, tempat penampungan air, air pembuangan kulkas, tempat minum burung, pot bunga, dispenser air minum (wadah limpahan airnya), atau barang bekas di sekitar rumah,” katanya.
Pada tempat-tempat tersebut, hendaknya dapat dipastikan tidak terdapat jentik nyamuk. Karena satu jentik nyamuk betina, dalam 12-14 hari akan berubah jadi nyamuk dewasa. Dan satu nyamuk betina dewasa sekali bertelur bisa mencapai 100-150 butir telur.
“Dalam masa hidup nyamuk betina dewasa berkisar satu bulan, bisa bertelur hingga lebih kurang empat kali. Jadi bisa dibayangkan satu nyamuk betina bisa bertelur hingga 600 telur sebulan. Jadi jika melihat ada jentik berarti kita terancam demam bisa,” ujarnya.
Nyamuk Wolbachia Dilepas di Lima Kota
Sementara itu, Kementerian Kesehatan kini menggandeng para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mencegah DBD dengan nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia.
Merujuk data Kemenkes, pada Januari hingga November tahun ini, ada 76.499 kasus DBD. Upaya penanggulangan DBD dengan nyamuk wolbachia menjadi satu harapan. Teknologi itu pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang banyak ditemukan pada 60 persen serangga.
Bakteri tersebut selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk aedes aegypti hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia. Diharapkan, nyamuk ber-wolbachia itu menghentikan persebaran aedes aegeypti yang mengandung dengue.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu menegaskan bahwa penyebaran nyamuk ber-wolbachia dipastikan aman. Penerapan teknologinya sudah melalui kajian dan analisis risiko dengan melibatkan 25 peneliti top Indonesia. ”Hasilnya bagus. Sudah diujicobakan di Yogyakarta sekitar 5–6 tahun lalu dan hasilnya sangat menggembirakan,’’ katanya, pekan lalu.
Hasil kajian dan efektivitas itu telah dikirim ke Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO pun akhirnya merekomendasikan nyamuk tersebut pada 2021. Mempertimbangkan hal itu, Kemenkes memutuskan untuk memperluas area penyebaran nyamuk wolbachia di lima kota, yakni Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
’’Kendati telah menunjukkan hasil yang baik, penyebaran nyamuk ber-wolbachia tetap memerlukan monitoring dan evaluasi secara berkala,’’ katanya. Kemenkes telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-wolbachia di lima kota untuk memastikan implementasi berjalan baik.
Peneliti nyamuk wolbachia UGM Prof Adi Utarini mengatakan, daerah yang disebar nyamuk ber-wolbachia terbukti mampu menurunkan angka kejadian DBD hingga 77 persen. Angka perawatan di rumah sakit juga turun 86 persen.
Bahkan, merujuk pada data Dinas Kesehatan Kota Yogya 2023, kasus DBD tercatat hanya di angka 67 kasus. Berdasar data yang dirangkum, jumlah kasus itu menjadi yang terendah dalam 30 tahun terakhir. ’’Hasil ini menjadi bukti penelitian di Jogjakarta sekaligus rekomendasi ke WHO untuk vector control advisory group,’’ ujar.(sol/lyn/c7)