PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Sidang dugaan tindak pidana korupsi anggaran di Bappeda Siak senilai Rp2,8 miliar oleh Sekdaprov Riau nonaktif Yan Prana Jaya Indra Rasyid kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (3/5).
Sebagai terdakwa, Yan Prana hadir dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU).
Ada empat saksi yang dihadirkan dalam persidangan tersebut. Mereka merupakan pegawai atau aparatur sipil negara (ASN) di Bapedda Siak. Yakni M Agung Afandi, Reza Harahap, Heriyanto, dan Awaluddin.
Dalam persidangan Heriyanto dan Awaluddin serta saksi lainnya mengakui telah terjadi pemotongan 10 persen terhadap anggaran perjalanan dinas di Bapedda Kabupaten Siak sebagaimana yang telah disangkakan kepada terdakwa. Bahkan, salah seorang saksi menyebut pemotongan sebesar 10 persen anggaran perjalanan atas perintah dari kepala Bappeda Siak, yang juga merupakan Pengguna Anggaran (PA) Yan Prana Jaya melalui Bendahara Ade Kusendang.
"Uang yang telah kami terima itu tidak sesuai dengan kwitansi yang telah kami tanda tangani. Karena jumlahnya sudah berkurang karena telah dipotong sebesar 10 persen. Yang telah dipotong oleh bendahara atas perintah kepala Bappeda," ucap Heriyanto kepada majelis hakim.
Hakim ketua Lilin Herlina yang menanyakan kepada saksi apakah tidak protes karena uang perjalanan dipotong? Saksi mengungkapkan tidak berani protes atau mempertanyakan alasan pemotongan karena takut. Pasalnya dia hanya pegawai staf biasa. "Kami hanya diam saja. Tetapi dalam hati tidak terima dipotong," sebut Heriyanto.
Selanjutnya, hakim ketua Lilin Herlina dalam persidangan menanyakan apakah betul pada waktu itu Kepala Bappeda Siak dan juga pengguna anggaran adalah terdakwa Yan Prana Jaya. Saksi menjawab betul. Selanjutnya, hakim ketua menanyakan bagaimana proses pencairan anggaran perjalanan dinas tersebut? Sesuai dengan keterangan saksi, uang perjalanan dinas tersebut baru bisa dicairkan setelah mengajukan kelengkapan berkas atau syarat-syaratnya seperti bukti perjalanan, tiket dan lain-lain.
Dijelaskan saksi, bahwa untuk biaya awalnya para pegawai yang melakukan perjalanan dinas menggunakan uang pribadi, dan setelah itu baru mengajukan pencairan ke bendahara. Uang baru bisa dicairkan dari bendahara terlebih dahulu menunggu adanya anggaran. "Tetapi begitu uang telah dicairkan oleh bendahara kami menerima anggaran/dana yang sudah dipotong 10 persen dari anggaran perjalanan dinas yang diajukan," terang saksi.
Untuk anggaran pembuatan buku di Bapedda Siak, saksi Awaluddin mengaku berinsiatif melakukan mark up dengan cara membuat kwitansi yang tidak sesuai.
"Jumlah yang tertera di dalam kwitansi tidak sesuai dengan yang dibayarkan. Misalnya harga buku Rp70 ribu, lalu saya buat di kwitansi Rp150 ribu. Artinya tersisa Rp80 ribu. Uang sisa tersebut diserahkan ke bendahara dan saya juga menerimanya," terang Awaluddin yang juga menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Meski sedikit ada perbedaan keterangan yang disampaikan masing-masing saksi dan banyak menjawab lupa dan tidak tahu, namun semua saksi yang memberikan keterangan tidak menampik dan mengakui bahwa uang perjalanan dinas pegawai di Bapedda Siak dipotong 10 persen melalui bendahara. Bahkan dari keterangan saksi pemotongan 10 persen perjalanan dinas pegawai tersebut disampaikan langsung Kepala Bapedda Siak yang ketika itu memimpin rapat yaitu terdakwa Yan Prana Jaya.
Hakim ketua juga sempat dibuat kesal dari keterangan-keterangan yang disampaikan saksi. Pasalnya, ketika ditanya oleh hakim ketua maupun JPU, saksi banyak mengatakan tidak mengetahui kapan melakukan perjalanan dinas. Dan juga mengungkapkan kalau saksi mengaku tidak terima uang perjalanan dinasnya dipotong tetapi hanya diam saja dan tidak berani mempertanyakan alasan pemotongan ke pimpinan, bendahara atau langsung ke kepala Bapedda.
"Uang sendiri dipotong kok malah diam saja dan tidak berani mempertanyakan ke pimpinan masing-masing mengapa dipotong. Kalau saya pasti saya tanyakan karena itu kan uang saya," ucap hakim ketua dengan kesal.
Sementara Yan Prana membantah keterangan saksi bawah pernah menyampaikan dalam rapat atau pun memerintahkan untuk melakukan pemotongan 10 persen anggaran perjalanan dinas. Yan Prana mengklaim mengatakan pada waktu itu hanya mengusulkan bahwa akan dilakukan pemotongan 10 persen saja. Itu pun jika semua pegawai setuju. "Pada waktu itu saya hanya mengusulkan saja. Sepanjang semuanya setuju ya sudah, jalan kan," kata Yan Prana membantah keterangan saksi.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Deni Azani SH MH dan kawan-kawan yang menanyakan kepada saksi bahwa apakah perjalanan itu dilakukan atau tidak dilakukan? Saksi menyebutkan bahwa perjalanan dinas tersebut dilakukan, bukan fiktif. Dan sesuai dengan hasil pemeriksaan BPK dan Inspektorat tidak ada temuan. Dan juga berbagai prestasi juga pernah diterima oleh Bapedda Siak.
Selain itu kuasa hukum terdakwa juga menanyakan kepada saksi apakah pada waktu itu menjadi temuan oleh BPK atau Inspektorat terkait pemotongan 10 persen tersebut. Saksi mengatakan tidak pernah menjadi temuan oleh BPK maupun Inspektorat.
Setelah mendengarkan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh 4 orang saksi tersebut, hakim ketua Lilin Herlina memutuskan sidang akan kembali dilanjutkan pada pekan depan, Senin (10/5) dengan agenda kembali mendengarkan keterangan saksi. "Untuk sidang selanjutnya kembali akan mendengarkan keterangan saksi-saksi,"ucap hakim ketua menutup persidangan.(dof)