PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - REKOR Covid-19 di Indonesia kembali dipecahkan. Kemarin dengan pertambahan kasus 14.536 orang, jumlah kasus konfirmasi menjadi 2 juta lebih. Meski demikian, pemerintah nampaknya masih mengabaikan saran dari berbagai pihak untuk menginjak rem darurat. Pemerintah masih memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro.
Menko Perekonomian Airlangga Hartanto kemarin (21/6) mengumumkan bahwa pemerintah akan memperpanjang PPKM mikro hingga 5 juli. Dia menyebut, perpanjangan tersebut diikuti dengan pengetatan ketentuan.
Pada zona merah, sektor perkantoran masih boleh work from office (WFO) sebanyak 25 persen karyawan. Begitu pula dengan restoran dan tempat perbelanjaan juga hanya 25 persen dari kapasitas yang boleh di dalam dan buka hanya sampai pukul 20.00.
"Pemerintah akan menguatkan dan memastikan implementasi penanganan Covid-19 baik di hulu maupun di hilir," ucapnya.
Sebelumnya lima organisasi profesi kedokteran sudah mengimbau agar pemerintah tegas untuk menyetop mobilitas. PPKM dilakukan menyeluruh. Sebab PPKM mikro hanya berlaku sporadis dan masih ada peluang mobilitas manusia.
"Penerapan PPKM ketat atau PSBB," kata ketua umum persatuan dokter paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto SpP. PPKM yang sekarang menurutnya kurang tepat. PSBB yang sebelumnya dilakukan terbukti mengurangi transmisi.
Hal senada juga sebelumnya diutarakan oleh Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Lia Paratakusuma. "Masyarakat adakalanya susah untuk diatut untuk yang sekala kecil (PPKM mikro, red)," ungkapnya.
Bahkan seruan untuk menarik rem darurat dengan serius membatasi mobilitas juga diutarakan beberapa pihak lagi. Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay mendorong adanya lockdown. Dia mengingatkan pemerintah jangan takut dengan kebijakan lockdown karena sudah diterapkan oleh beberapa negara. Sementara PPKM sendiri tidak bisa terukur penerapannya.
"Karena itulah harus dievaluasi dan diberi kebijakan alternatif," ucapnya.
Ketua DPR RI Puan Maharani juga mendesak adanya PSBB. "Pemerintah harus segera bertindak untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan," kata Puan kemarin.
Menurut dia, ledakan kasus Covid-19 di Pulau Jawa semakin mengkhawatirkan karena banyaknya jumlah penduduk dengan mobilitas tinggi, serta penerapan protokol kesehatan yang belum optimal. Puan menyatakan, arah kebijakan dari pemeringah pusat secepat mungkin sangat diperlukan mengingat sebaran Covid-19 di berbagai daerah. "Tombol bahaya harus dinyalakan untuk kondisi darurat ini dan meningkatkan kesadaran akan bahaya lonjakan kasus Covid-19," tegas politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu.
Koalisi Masyarakat Sipil juga memberikan surat terbuka yang berjudul Desakan Emergency Response-Prioritaskan Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi. Surat itu ditandangani sedikitnya 2000 orang dan ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut terdapat petisi yang isinya meminta Jokowi untuk mengeluarkan keputusan karantina wilayah dan mempertegas pembatasan pergerakan fisik dengan sanksi yang tegas serta memberikan bantuan sosial bagi masyarakat yang membutuhkan.
Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Sulistyo mengungkapkan negara ini tak mampu mengantisipasi kekacauan akibat Covid-19 yang sebenarnya sudah terprediksi. Misalnya terkait kebijakan, dia menilai, pemerintah belum memiliki kebijakan yang kuat dalam pengendalian Covid-19. "Kita hanya memiliki PP 201 tahun 2020 tentang PSBB. Tapi PSBB hanya diterapkan tiga provinsi dan itupun banyak modifikasi," ujaranya.
Sekarang pemerintah malah menerapkan PPKM yang menurut Hermawan paradigmanya berbeda dengan PSBB. Dia menuturkan bahwa PPKM bukan untuk menurunkan kasus Covid-19, namun lebih memperlambat situasi. Dari pendekatan surveilans dengan pendekatan epidemologi, Indonesia dinilai lemas. Dengan 15 bulan masa Covid-19 di Nusantara, testing dan tracing-nya baru 100.000. Yang memberikan laporan rutin hanya laboratorium yang baik. Ini menurutnya menunjukkan adanya gap antar kabupaten/kota.
"Kalau negara kita begini-begini saja, sekiranya tidak akan keluar dari pandemi Covid-19," ungkapnya. Dia mengibaratkan kebijakan pemerintah hanya melakukan "rem-gas". Kebijakan yang tidak tegas ini tidak dapat memutus matarantai Covid-19.
"Kita tidak bisa memenangkan kedua-duanya. Kesehatan kembali pulih dan ekonomi kembali pulih sempurna, itu tidak mungkin," inbuhnya.
Terpisah, dalam penanganan kasus penularan virus Covid-19 yang terus meningkat, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menekankan pentingnya faktor kepemimpinan. Menurutnya, pemimpin sangat menentukan sejauh mana pandemi bisa dikendalikan.