GAJAH BERTALUT, NEGERI YANG BERUSAHA MENJAGA WARISAN UNTUK ANAK CUCU

Tiga Kg Karet Tak Bisa Membeli 1 Kg Beras

Riau | Jumat, 01 Maret 2019 - 08:56 WIB

 Tiga Kg Karet Tak Bisa Membeli 1 Kg Beras
MENUMPANG PERAHU: Foto kiri, tiga pelajar menumpang perahu pergi ke sekolah dari Gajah Bertalut menuju Aur Kuning menyusuri Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu. Foto kanan, seorang ibu menggendong karet dari bukit, beberapa hari lalu.

Haruskah jatuhnya harga karet ke titik terendah membuat gelap mata? Warisan untuk anak cucu yang semestinya dijaga, agar mereka tidak menjadi penonton di negeri sendiri, satu per satu ditebang demi si buah hati yang menunggu di rumah atau sedang menuntut ilmu.

(RIAUPOS.CO) - GAJAH Bertalut sebuah desa yang masuk dalam kawasan Suaka Marga Satwa Rimbang Baling. Untuk bisa sampai ke sana, harus melintasi sejumlah desa dengan menyusuri Sungai Subayang. Hanya itu satu-satunya akses menuju ke sana.

Baca Juga :Gubri Syamsuar dan Istri Promosi Batik Riau

Air sungai yang jernih, hutan lebat menyelimuti ratusan bukit berkabut di kiri kanan sungai. Kicauan burung yang merdu, biawak yang tiduran di pohon bagian tak terpisahkan dari perjalanan menggunakan perahu bermesin menuju Gajah Bertalut. Untuk bisa sampai ke sana, tim dari Yayasan Institut Sumber Daya Dunia atau World Resources Institute (WRI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru harus ke Lipat Kain, Kampar Kiri Hulu, Kampar. Perjalanan memakan waktu satu sampai satu jam setengah.    

Dari Lipat Kain menuju Desa Gema berjarak sekitar 26-30 km. Di Gema, ada pelabuhan kecil tempat masyarakat menaikkan dan menurunkan penumpang, atau di mana perahu-perahu bersandar menuju delapan desa sepanjang Sungai Subayang. Tapi sayang, di pelabuhan itu juga terlihat antrean truk di tepi sungai. Belasan lelaki berusaha memuat kayu log dengan diameter 30 sampai 50 cm dan panjang sekitar empat sampai lima meter ke atas truk.

Mencoba mengabadikan momen itu dengan kamera telepon seluler (ponsel), namun situasi yang tidak nyaman, membuat urung melakukannya. Saat melihat ponsel dengan teliti, ternyata sinyal tinggal dua garis. Lawa, dari WRI berbisik, “Itu artinya bersiap tidak bisa berkomunikasi jika sudah mulai menyusuri Sungai Subayang.”

Perjalanan menuju Desa Gajah Bertalut memakan waktu satu setengah sampai dua jam melawan arus sungai. Jika nasib baik akan sampai dengan tubuh kering, karena hujan akan selalu turun di sepanjang perjalanan. Makanya siapa pun harus menyiapkan mantel dan pelampung atau jaket keselamatan. Hindari menggunakan sepatu dan celana yang relatif tebal. Jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, akan lebih mudah berenang dan menyelamatkan diri. Itulah petuah yang dikatakan pengemudi perahu bermesin bernama Aher.

Air sungai relatif tenang. Di beberapa titik akan ada batas yang dibuat warga sebagai petunjuk lubuk larangan, berupa tali melintang di sungai yang diikatkan di antara pohon di seberang sungai. Itu artinya di wilayah itu tidak boleh mengambil ikan. Ikan boleh diambil ketika waktunya tiba. Dan akan dilakukan secara bersama-sama dalam acara adat. Jika ada yang mengambil ikan sebelum waktunya tiba, akan mendapatkan sanksi adat. Meski tidak tertulis, aturan itu berlaku di masyarakat.

Itu penjelasan Aher, saat ditanya tentang tali yang melintang di atas sungai. Belum usai keheranan melihat para lelaki mengangkut kayu log di Pelabuhan Gema. Dari arah berlawanan, berpapasan dengan perahu yang menarik puluhan batang kayu gelondongan.  Pemandangan itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali berpapasan dengan sampan penarik kayu. Ada perasaan miris, ada perasaan sedih. Tapi lidah tercekat untuk bertanya. Hanya berusaha mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel.

Tidak hanya ditarik, kayu-kayu juga disusun di tepi sungai, siap untuk ditarik. Perjalanan dua jam terasa singkat, saking kagumnya dengan keindahan alam Sungai Subayang. Sesampai di Gajah Bertalut, sama sekali tidak ada sinyal ponsel. Namun, hati menjadi damai saat berpapasan dengan warga, sejak turun dari perahu, di jalan desa yang sudah semenisasi menuju kediaman Pak Darman. Pak Darman adalah seorang tokoh masyarakat yang peduli dengan lingkungan dan bekerja sama dengan WRI.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook