“Mereka hanya asyik bertarung saja,” ucapnya.
Sementara pengamat hukum tata negara, Dr Mexsasai Indra SH MH mengutip Benedict Anderson bahwa masyarakat atau karakteristik politisi di Indonesia cenderung mengikut yang menaunginya. Jika dulu ada upaya yang membatasi kroni-kroni keluarga yang berkuasa itu untuk tidak terlalu aktif dalam proses pengisian jabatan-jabatan publik. “Itu terdapat di zaman Gamawan Fauzi ada di dalam UU Rancangan Pemilihan Kepala Daerah agar membatasi keluarga petahana hanya untuk satu periode,” jelasnya.
Lebih lanjut, setelah jeda satu periode barulah keluarga petahana ikut berkompetisi dalam mengisi jabatan publik termasuk kepala daerah.
“Ketentuan tersebut dibatalkan oleh MK. Ada yang mengajukan review, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Bahwa hak politik itu merupakan hak konstitusional dari setiap warga negara,” paparnya.
Kemudian, pascaputusan MK tidak berlaku larangan seperti itu. Terkait dengan pengisian jabatan di legislatif memang tidak ada ketentuan larangan kepada keluarga pejabat atau mantan pejabat ikut dalam proses pencalonan anggota legislatif. “Sah-sah saja. Bisa dikatakan masuk kategori power sindrom kekuasaan,” ungkapnya.
Lalu, Mexsasai menyatakan ada kecenderungan dalam proses pencalegan kali ini menjual ke publik itu terkait kebesaran leluhurnya. Misalnya, mengandalkan orangtua sebagai mantan pejabat. “Fenomena itu tidak bisa dihilangkan dalam konteks di Riau, bahkan di nasional pun demikian. Persoalan sekarang apakah mendapat hati di masyarakat, ya itu 17 April mendatang yang menentukan,” tegasnya.
Pengamat hukum tata negara lainnya, Dr HM Husnu Abadi SH MH PHd turut serta menyampaikan berkenaan dengan petahana, dalam sistem demokrasi yang Indonesia anut sekarang pada eksekutif hanya dibatasi dua kali masa jabatan. Artinya jika sekarang baru pertama kali, masih diberi kesempatan maju untuk kedua kali, dengan memperbarui mandat kepada rakyat yang memintanya.
“Karean ada kesempatan itu. Maka hak konstitusional calon tersebut harus dihargai. Itu di mana saja ada masa jabatan kedua,” ucapnya.
Dilanjutkannya, ada beberapa negara yang hanya satu masa jabatan seperti Taiwan, Filipina dan Korsel. Masa lamanya sekitar 6 sampai 7 tahun. Kemudian, Husnu manambahkan umumnya untuk legislatif tidak ada yang membatasi. Artinya mau dua, tiga, empat kali sekalipun tidak ada pembatasannya oleh peraturan perundang-undangan.
“Biasanya yang membatasi itu partai. Sudah dua kali jangan di kabupaten, pindah ke provinsi, kemudian ke DPR Pusat. Kesempatan itu dipermudah,” jelasnya.
Ia menilai, kekuasaan itu mempunyai sisi lain, yaitu patrial. Kekuasaan yang mengatur budget (memengaruhi pembangunan daerah). Tetapi kemudian terjadi penyimpangan yang tidak mudah terdeteksi. Karena banyak korupsi dan kongkalikong. Ada yang terungkap dan ada juga yang tidak terungkap oleh KPK.
Selanjutnya kata Husnu, fasilitas yang diberikan dalam posisi tersebut, sebetulnya menarik dan menggiurkan. Jadi kombinasi antara hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi mereka.(*3/nda/ted)